Reporter: Maggie Quesada Sukiwan, Petrus Sian Edvansa | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Prospek kinerja reksadana beraset dasar surat utang bakal makin moncer. Amunisi terbaru berasal dari relaksasi ketentuan investasi surat berharga negara (SBN) bagi para industri keuangan non bank (IKNB) yang tercantum dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 36/POJK.05/2016.
Sebelumnya, untuk tahun 2016, regulator mewajibkan IKNB seperti dana pensiun dan asuransi memarkirkan investasi minimal 10%–20% hanya pada instrumen obligasi pemerintah, baik konvensional maupun syariah. Batasan ini diperbesar menjadi 20%–30% di 2017.
Namun kini, IKNB juga bisa menempatkan investasinya di obligasi korporasi besutan badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), maupun anak perusahaan BUMN. Syaratnya, instrumen ini sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) serta sistem electronic trading platform (ETP) dalam negeri.
Obligasi korporasi BUMN tersebut juga harus mendapatkan rating minimal investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui OJK. Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo berpendapat, relaksasi tersebut akan menjadi katalis positif bagi kinerja reksadana berbasis obligasi.
Sebab, kebutuhan obligasi dari IKNB akan bertambah. Hal ini berpotensi menopang pasar obligasi dalam negeri. Investment Director Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana yakin IKNB akan memburu obligasi pemerintah maupun BUMN, sehingga menopang pasar surat utang.
Sementara IKNB yang kesulitan memenuhi persyaratan OJK secara langsung akan memanfaatkan reksadana, baik reksadana pendapatan tetap maupun reksadana campuran berbasis obligasi negara dan BUMN. "Harusnya bagus, harga obligasi bisa naik. Apalagi underlying ditambah," terang dia.
Andre Varian, Fund Manager BNI Asset Management, juga sepakat kebijakan terbaru OJK ini akan berdampak positif bagi pasar obligasi Indonesia. Kendati demikian, membesarnya kepemilikan IKNB di pasar SBN disinyalir belum akan mampu menghadang tekanan dari eksternal.
Pasar obligasi dalam negeri masih akan menghadapi sentimen negatif kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed serta antisipasi kebijakan Presiden AS terpilih Donald Trump. Maklum, pasar surat utang dalam negeri masih didominasi investor asing.
Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 30 November 2016, kepemilikan asing di SBN domestik yang dapat diperdagangkan mencapai Rp 656,06 triliun, atau 37,05% dari total outstanding SBN. Bandingkan dengan kepemilikan dana pensiun yang hanya Rp 85,8 triliun atau 4,84% dari total outstanding. "Investor asing banyak yang trading. Jika ada sentimen negatif, mereka keluar," jelas Andre.
Prospek positif Berdasarkan data Infovesta Utama, secara year to date (ytd) per 30 November 2016, rata-rata return reksadana pendapatan tetap, seperti tercermin dari Infovesta Fixed Income Fund Index, melonjak 7%. Soni optimistis, hingga pengujung 2016, rata-rata return reksadana pendapatan tetap bisa mencapai 9%–16%.
Soni menilai, pasar obligasi dalam negeri sudah bergulir dalam area jenuh jual, sehingga berpotensi rebound dalam waktu dekat. "Ekspektasi pertumbuhan di AS sudah berlebihan. Obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sudah terlalu murah saat ini,” terang dia.
Dari domestik, permintaan obligasi para IKNB akan menopang pasar. Hitungan Jemmy, di sisa tahun ini reksadana pendapatan tetap masih bisa memberi return sekitar 2% lagi. Alasannya, aksi jual investor asing mulai mereda. Tahun depan, ia memprediksi reksadana pendapatan tetap dapat mendulang return hingga 12%.
Sementara Soni memperkirakan, return reksadana pendapatan tetap akan menurun ke level 8%–9% pada tahun 2017. Menurutnya, tidak ada peluang bagi BI untuk mengecilkan suku bunganya tahun depan. Artinya, harga obligasi akan bergerak terbatas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News