Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru-baru ini penyedia menara telekomunikasi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) telah mengakuisisi 6.050 unit menara milik PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Dengan akuisisi tersebut, lantas seperti apa peta pemilik menara terbanyak saat ini?
Analis Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi menilai akuisisi yang dilakukan Mitratel sebenarnya tidak banyak mengubah peta kepemilikan menara saat ini. Pasalnya, proses akuisisi tersebut masih termasuk ke dalam satu grup, yakni telkom grup.
“Jadi tidak ada perubahan yang signifikan, peta menara saat ini masih telkom grup yang menjadi pemimpinnya. Kemudian baru diikuti oleh PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG),” kata Yosua kepada Kontan.co.id, Sabtu (24/10).
Lebih detailnya, untuk peta kepemilikan menara saat ini, Mitratel masih di peringkat pertama dengan jumlah menara sebanyak 22.075 unit. Sementara TOWR di peringkat kedua dengan 21.271 menara. Lalu TBIG saat ini memiliki 15.893 unit menara.
Dengan semakin banyaknya jumlah menara yang dimiliki oleh para emiten tersebut, Yosua menyebut secara umum akan memberi dampak positif. Pasalnya, para emiten dalam membangun menara menggunakan prinsip build-to-suit. Sehingga setiap menara yang dibangun sudah dipastikan terdapat minimal satu penyewa. Dus, berapapun jumlah menara yang dimiliki akan tetap menguntungkan emiten menara.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham emiten menara di tengah sentimen omnibus law
“Selain itu, seluruh biaya kan sudah diperhitungkan dengan matang, belum lagi ada kontrak tetap jangka panjang dengan penyewa, jadi keuntungannya sudah diperhitungkan. Belum lagi, dengan semakin banyak menara yang dimiliki, semakin tinggi pula bargaining power untuk mendapat penyewaan baru,” jelas Yosua.
Sementara analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menyebut, semakin banyaknya jumlah menara yang dimiliki akan berpotensi meningkatkan sumber pendapatan sehingga kinerjanya pun akan ikut meningkat. Tapi di satu sisi, jika menara tersebut justru kurang optimal atau rasio tenantnya kecil, malah berpeluang jadi beban.
“Dalam klaster telekomunikasi RUU Omnibus Law kan terdapat kebijakan berbagi infrastruktur, ini di satu sisi bisa menjadi sentimen positif bagi perusahaan kecil. Selain itu, secara tidak langsung juga bisa meningkatkan rasio kolokasi atau tenancy,” ungkap Sukarno.
Sementara Yosua justru cenderung memandang RUU Omnibus Law tersebut justru memberi sentimen negatif. Memang, ia melihat investor asing bisa memberikan pendanaan mengingat valuasi emiten menara di Indonesia, masih lebih atraktif dibandingkan emiten menara di Amerika dan Eropa.
Namun di satu sisi, RUU Omnibus Law berpotensi membuat sulitnya menaikan tarif sewa untuk menara baru. Investor asing justru bisa saja menjadi kompetitor, dan dengan dukungan pendanaan yang lebih murah di luar negeri, maka mereka bisa saja memberikan discount biaya sewa. Hal ini tentu akan membuat pendapatan sewa per menara baru sulit untuk naik.
“Disisi lain, di omnibus law juga dimandatkan untuk pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi pasif, termasuk menara, kepada operator telekomunikasi lain tanpa diskriminatif. Hal ini membuat operator yang memiliki banyak menara seperti Telkomsel menjadi saingan para emiten menara,” sambung Yosua.
Kendati demikian, Yosua melihat prospek emiten menara secara umum ke depannya masih sangat menarik. Dengan kebutuhan menara oleh operator masih tinggi seiring tingginya penggunaan internet. Jadi tanpa omnibus law pun, industri menara tetap akan berkinerja secara solid.
Sementara analis Ciptadana Sekuritas Gani dalam risetnya pada 12 Oktober 2020 menuliskan, RUU Omnibus Law secara jangka pendek memang akan membuat outlook emiten menara sedikit terganggu. Namun, secara jangka panjang, emiten menara masih punya prospek yang cerah mengingat masih belum berkembangnya sektor tower telekomunikasi Indonesia.
“Jumlah towernya masih 3,6 per 10.000 populasi, padahal rata-rata global sebanyak 8,1 tower per 10.000 populasi. Ditambah lagi karena rasio overlay BTS 4G-ke-3G dan 4G-ke-2G melampaui 1x. Jadi ini akan membuat kinerja emiten menara masih akan terus tumbuh ke depan,” tulis Gani.
Gani sendiri memilih TBIG sebagai emiten menara pilihannya lantaran punya basis konsumen yang kuat, punya model bisnis yang defensive dan berbasis uang tunai, sebuah model yang sangat menguntungkan di tengah situasi saat ini.
Sementara Yosua juga menjagokan TBIG dan TOWR karena merupakan emiten menara independen yang memiliki jumlah menara terbanyak di Indonesia. Dengan semakin banyak menara yang dimiliki, semakin tinggi pula bargaining power mereka untuk mendapat tambahan sewa menara dari para operator.
Sukarno pun menjagokan TBIG dan TOWR sebagai pilihannya. “TBIG sedikit lebih baik dari tenancy ratio di 1.96x, sedangkan TOWR hanya 1.79x. Selain itu, TBIG memiliki rasio OPM 73% yang lebih tinggi dari TOWR yang 61%. Tapi rasio NPM TOWR 35.31% lebih baik dari TBIG 19.81% serta TOWR secara valuasi masih lebih rendah dari TBIG,” pungkas Sukarno.
Selanjutnya: Pasca Jual Menara, Telkomsel Bertransformasi Menuju Perusahaan Digital Telekomunikasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News