Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga tembaga akhir tahun ini diselimuti sentimen negatif dari pasar properti China yang lesu. Namun sektor properti di Australia dan Selandia Baru masih tumbuh sehingga bisa menopang harga tembaga ke depan.
Mengutip Reuters, Rabu (29/11) pukul 13.43 WIB, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange naik 0,1% dari hari sebelumnya jadi US$ 6.811 per metrik ton. Harga rebound setelah hari sebelumnya terkoreksi 1,97%.
Perlambatan pertumbuhan properti di China menjadi katalis negatif yang menekan pergerakan harga. Maklum, pemerintah Negeri Tirai Bambu membatasi pemberian pinjaman untuk investasi berisiko seperti properti. "Investasi di pasar properti mulai berkurang karena pengawasannya lebih ketat," ujar Andri Hardianto, Analis Asia Tradepoint Futures, Rabu (29/11).
Kekhawatiran tersebut telah membuat penjualan rumah baru di China sepanjang Oktober turun ke titik terendah dalam tiga tahun terakhir. Bahkan JP Morgan Chase & Co memperkirakan penjualan rumah tahun depan akan turun sekitar 6%. Dus, permintaan tembaga untuk pembangunan properti di China berpotensi turun.
Untungnya, saat properti China lesu, pasar properti Australia dan Selandia Baru terus tumbuh. "Walaupun 50% permintaan tembaga bersumber dari China tetapi pertumbuhan pasar properti di Australia dan Selandia Baru cukup positif menyeimbangkan pasokan," papar Andri.
Selain itu, pertumbuhan industri mobil listrik juga dinyakini mampu mendorong permintaan tembaga. Apalagi, tahun depan diprediksi akan terjadi defisit tembaga pemurnian. Andri menghitung harga tembaga akan berkisar antara US$ 7.000–US$ 7.200 per metrik ton akhir tahun ini.
Sedangkan, hari ini harga tembaga diprediksi bergerak antara US$ 6.750–US$ 6.850 . Sepekan ke depan, harga akan bergerak antara US$ 6.700–US$ 6.900 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News