Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2019, realisasi produksi batubara nasional menembus angka 610 juta ton atau setara dengan 124,74% dari target dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengontrol angka produksi batubara domestik di angka 550 juta ton tahun ini.
Selain itu, Pemerintah juga menerapkan domestic market obligation (DMO) sebesar 25% dari total produksi nasional.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai, kontrol produksi batubara ini memerlukan peraturan yang jelas, salah satunya mengenai sanksi/denda bagi perusahaan yang melanggar.
Baca Juga: Ekspansi tambang batubara diprediksi kembali sepi di tahun ini
Selain itu, ia menilai permasalahan harga batubara tidak hanya terbatas pada lingkup nasional saja. Lebih lanjut, harga batubara global juga ditentukan oleh produsen batubara lainnya seperti China, India, hingga Australia.
“Memangnya penghasil batubara hanya Indonesia saja? Tidak. Bagaimana dengan isu oversupply dari China dan Australia?” ujar Liza kepada Kontan.co.id, Jumat (10/1).
Analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu menilai, peraturan ini berpotensi untuk merugikan produsen yang terlanjur memangkas target produksinya.
Sebab, jika pemangkasan produksi domestik tidak dibarengi dengan pemangkasan produksi di negara produsen lain, maka kebijakan ini tidak akan efektif untuk mendongkrak harga emas hitam tersebut.
Ia justru menilai skema pembatasan produksi ini cukup berhasil pada komoditas nikel, di mana 27% pasokan nikel dunia berasal dari Indonesia.
“Indonesia bukan supplier utama batubara dunia, masih ada China dan India. Tetapi konsumsi keduanya juga sedang melambat. Kita harus tunggu efeknya setidaknya satu kuartal ke depan untuk harga batubara,” ujar Dessy, Jumat (10/1).
Baca Juga: Ini dia saham-saham pilihan para analis hingga akhir Januari
Dari banyaknya saham emiten pertambangan batubara, Dessy menaruh pilihan pada saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan rekomendasi buy di harga Rp 1.600 per saham.
Untuk diketahui, ADRO menjadi emiten batubara dengan kinerja yang apik. Emiten penghuni Indeks Kompas100 ini berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih hingga 29,83% secara year-on-year menjadi US$ 405,99 juta. Padahal, di periode kuartal III-2018 laba bersih ADRO hanya sebesar US$ 312,71 juta.
Di sisi lain, Liza merekomendasikan untuk mencermati saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Sebab, secara teknikal saham emiten pelat merah ini telah mengalami tren kenaikan jangka pendek sejak awal November 2019.
Pada perdagangan Jumat (10/1), saham PTBA ditutup menguat 4,12% ke level Rp 2.780 per saham. Menurut Liza, jika pada perdagangan kemarin saham PTBA berhasil ditutup di atas level Rp 2.760, maka ada peluang kenaikan harga hingga Rp 3.000 – Rp 3.050 per saham.
Selain itu, keputusan pemerintah untuk menetapkan kebijakan pemenuhan domestic market obligation (DMO) batubara sebesar 25% dari target produksi nasional juga menguntungkan PTBA.
“Terkait rencana untuk kenaikan DMO yang paling diuntungkan adalah PTBA. Karena, sebagian besar produksinya diperuntukkan untuk pasar domestik. Jadi memang didukung secara fundamental dan teknikal” imbuh Liza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News