Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang mengerek naik persepsi risiko investasi atawa Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun Indonesia. Dus, pasar keuangan domestik pun diprediksi akan mengalami tekanan.
Berdasarkan data World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia berada di level 106,11 pada Senin (7/4). Dalam sebulan, persepsi risiko investasi di Indonesia telah naik 36,8%.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kenaikan tingkat CDS 5 tahun Indonesia mengindikasikan bahwa pasar melihat meningkatnya potensi risiko kredit, baik karena faktor domestik maupun global.
"Dalam konteks ini, efek pertama yang dapat dirasakan oleh pasar keuangan Indonesia adalah tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan peningkatan yield obligasi pemerintah (SUN) 10 tahun," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (4/4).
Ketika CDS meningkat, premi risiko yang diharapkan investor untuk menahan aset Indonesia turut meningkat. Alhasil, investor akan cenderung menjual atau mengurangi kepemilikan aset-aset berisiko seperti saham dan obligasi pemerintah.
"Kondisi ini menyebabkan IHSG mengalami tekanan jual atau setidaknya pergerakannya tertahan, sementara yield SUN 10 tahun cenderung mengalami peningkatan, mencerminkan kenaikan biaya dana bagi pemerintah Indonesia di pasar obligasi global maupun domestik," jelas Josua.
Baca Juga: Kenaikan Credit Default Swap (CDS) Picu Imbal Hasil Utang Pemerintah RI Meningkat
Nah, dengan yield obligasi AS yang masih tinggi serta tekanan stagflasi yang muncul di AS, investor global memiliki alasan kuat untuk menarik dana dari emerging markets. Josua menilai investor akan mencari aset yang lebih aman seperti US Treasuries atau instrumen safe-haven lainnya seperti Yen Jepang dan Franc Swiss.
Di sisi lain, Josua melihat masih ada beberapa instrumen investasi yang tetap prospektif di tengah situasi ini. Pertama, deposito perbankan domestik dengan tingkat suku bunga kompetitif tetap menarik karena likuiditas yang lebih aman dan rendahnya volatilitas nilai.
Kedua, instrumen pasar uang seperti Sertifikat Deposito (CD) atau instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia seperti SRBI juga akan menjadi pilihan menarik karena menawarkan yield yang cukup stabil.
Ketiga, obligasi korporasi dengan peringkat tinggi (AAA atau AA) bisa menjadi alternatif menarik karena profil risiko lebih rendah dibandingkan SUN di tengah kenaikan CDS.
"Di luar instrumen pasar uang, sektor-sektor defensif di pasar saham, seperti barang konsumsi (consumer staples), telekomunikasi, dan farmasi juga dapat menjadi alternatif yang baik," katanya.
Perusahaan di sektor-sektor tersebut umumnya memiliki pendapatan stabil dan kurang terdampak fluktuasi nilai tukar secara signifikan. Sehingga mampu menjaga kinerja fundamentalnya meskipun situasi pasar sedang volatil.
Secara keseluruhan, investor harus sangat berhati-hati dalam mengelola portofolionya di tengah meningkatnya CDS Indonesia ini. "Diversifikasi ke instrumen yang memiliki risiko lebih rendah dan sifat defensif merupakan strategi yang paling bijak dalam jangka pendek hingga menengah ini," imbuh Josua.
Baca Juga: 5 Faktor Penyebab Risiko Investasi (CDS) Indonesia Melonjak
Selanjutnya: Perusahaan Gas Negara (PGN) Beberkan Alasan Harga Gas Industri Non-PGBT Naik
Menarik Dibaca: Menu Diet Sehat Seminggu yang Dapat Anda Coba Konsumsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News