kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.495.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.585   85,00   0,54%
  • IDX 7.521   40,52   0,54%
  • KOMPAS100 1.169   8,10   0,70%
  • LQ45 933   4,48   0,48%
  • ISSI 227   2,02   0,90%
  • IDX30 480   1,12   0,23%
  • IDXHIDIV20 578   0,90   0,16%
  • IDX80 133   1,02   0,77%
  • IDXV30 142   1,62   1,15%
  • IDXQ30 161   0,16   0,10%

Potensi Rotasi Investasi ke China Belum Akan Terjadi Walau Tebar Stimulus Jumbo


Minggu, 13 Oktober 2024 / 20:08 WIB
Potensi Rotasi Investasi ke China Belum Akan Terjadi Walau Tebar Stimulus Jumbo
ILUSTRASI. Peralihan investasi bisa saja terjadi menuju pasar China yang biasanya pada aset saham.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Langkah China menebar stimulus tambahan akan menjadi katalis positif bagi perekonomian negeri tirai bambu tersebut. Secara bertahap, China diperkirakan bakal menarik kembali minat investasi asing.

Seperti diketahui, China menjanjikan langkah-langkah baru untuk mendukung sektor properti dan mengisyaratkan pinjaman pemerintah yang lebih besar untuk menopang perekonomian. Sebelumnya, China telah menggejot stimulus lewat penurunan suku bunga menjadi 1,5% dari sebelumnya 1,7%, serta penurunan giro wajib minimum perbankan sebesar 50 bps.

Pemerintah China juga memberikan tambahan likuiditas senilai US$114 miliar untuk pasar saham, relaksasi KPR senilai total US$5,2 triliun, dan kemudahan aturan pembelian rumah kedua dengan penurunan DP menjadi 15% dari sebelumnya 25%.

Selain itu, Pemerintah China menginstruksikan  untuk menurunkan suku bunga sebelum 31 Oktober. Bank-bank komersial harus secara bertahap menurunkan suku bunga KPR yang ada menjadi setidaknya 30 bps di bawah Loan Prime Rate (LPR), suku bunga acuan bank sentral untuk KPR.

Baca Juga: Meski Ada Gelontorkan Stimulus China, IHSG Masih Berpeluang Menguat di Akhir 2024

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana memandang, efek stimulus China tentunya akan positif bagi pasar keuangan regional. Bagi Indonesia, pemulihan ekonomi China semestinya menjadi sentimen bagus karena hampir sepertiga ekspor Indonesia menuju China.

Namun, upaya China menggelontorkan stimulus tambahan tersebut masih perlu dipantau lebih lanjut. Kalaupun wacara stimulus tersebut dieksekusi, setidaknya butuh setahun penuh untuk memperbaiki perekonomian China supaya bisa kembali menarik minat investasi asing.

"Pertumbuhan ekonomi China saat ini berada di bawah rata-rata 20 tahun terakhir yang berkisar 7-8%. Sehingga pemulihan ekonomi tidak gampang, butuh waktu mungkin setahun ke depan," ujar Fikri saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (13/10).

Fikri menjelaskan, China masih bergelut dengan permasalahan sektor properti sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. China juga masih menghadapi Shadow Banking yang menyalurkan uang ke sejumlah bentuk investasi di seluruh sektor ekonomi dan berada di luar dari aliran tradisional pinjaman bank.

Selain itu, meskipun ada rencana menerbitkan surat utang khusus untuk meningkatkan modal di bank-bank milik negara, namun belum ada kejelasan sisi fiskal mana yang akan didorong. Rencana memberikan stimulus sebesar CNY2 triliun atau setara US$283 miliar juga dianggap nilainya tidak begitu besar.

Sebagaimana diketahui, Menteri Keuangan China Lan Fo'an, dalam jumpa pers Sabtu (12/10), mengumumkan bahwa pemerintah daerah akan diizinkan menerbitkan obligasi khusus untuk membeli rumah yang tidak terjual. Hanya saja, dia tidak menyebutkan jumlah yang akan dialokasikan.

Lan mengisyaratkan kemungkinan penerbitan lebih banyak obligasi negara dan berjanji untuk mengurangi beban utang pemerintah daerah. Ia juga mengisyaratkan kemungkinan revisi anggaran dalam beberapa minggu mendatang.

Oleh karena itu, Fikri berpendapat bahwa dampak stimulus China tersebut baru akan terasa dalam jangka panjang. Namun bisa juga menjadi katalis jangka pendek bila stimulus tambahan tersebut akhirnya digelontorkan seperti kenaikan indeks-indeks saham China beberapa pekan lalu.

Menurut Fikri, langkah stimulus China tersebut belum begitu menarik minat investasi asing ke negeri tirai bambu tersebut. Di Indonesia sendiri, terjadinya arus keluar (outflow) belakangan ini disinyalir lebih dipengaruhi sentimen risk-off dari perang di Timur Tengah.

Di samping itu, kemungkinan the Fed memangkas suku bunga relatif lebih rendah daripada bank sentral utama lainnya turut menambah kewaspadaan investor. Akibatnya, banyak investor masih wait and see, ataupun melepas kepemilikan aset obligasi untuk sementara.

Berdasarkan data transaksi 7 – 10 Oktober 2024, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp4,47 triliun di pasar saham, beli neto sebesar Rp4,37 triliun di pasar SBN, dan jual neto sebesar Rp2,73 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

"Dampak stimulus China masih terbatas sejauh ini. Rupiah ataupun obligasi sendiri lebih dipengaruhi indeks dolar dan bagaimana pergerakan yield US Treasury," imbuh Fikri.

Baca Juga: Rekomendasi Saham Big Cap Pilihan yang Berpeluang Menguat Usai Tertekan

Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong mengatakan bahwa peralihan investasi bisa saja terjadi menuju pasar China yang biasanya pada aset saham. Ini mungkin tercermin pada arus keluar investasi dari India menuju China.

Adapun menurut data LSEG yang dikutip Reuters, dana asing meninggalkan ekuitas Asia, tidak termasuk China, sejauh ini pada bulan Oktober. Pihak asing sejauh ini telah melepas saham-sahamnya senilai US$ 7, 61 miliar saham di India, Indonesia, Thailand, Vietnam, Korea Selatan, Taiwan, dan Filipina.

Namun untuk pasar obligasi khususnya Indonesia, Lukman melihat, aset obligasi Indonesia masih sangat menarik dengan imbal hasil yang tinggi. Sehingga, investor mungkin tidak melepas kepemilikan obligasi Indonesia untuk masuk ke China.

Faktor stimulus China dipandang akan lebih berpengaruh bagi pergerakan mata uang rupiah. Sebab, stimulus yang bisa membangkitkan perekonomian China tersebut pada akhirnya bisa meningkatkan permintaan terhadap komoditas Indonesia seperti baja ataupun batubara.

"Stimulus China tidak kalah penting dengan pemangkasan suku bunga the Fed, walau keduanya mendukung dari sisi yang berbeda. Saya masih melihat rupiah berpotensi di Rp 14.700 per dolar AS pada akhir tahun," ucap Lukman kepada Kontan.co.id, Minggu (13/10).

Selanjutnya: Kadin Minta Pemerintahan Prabowo-Gibran Perkuat Kelas Menengah

Menarik Dibaca: Waspada Bencana Jawa Tengah Besok (14/10), Ini Peringatan Dini Cuaca Hujan Lebat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×