kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengelolaan investasi ala Bank DBS Indonesia di kuartal III tahun ini


Kamis, 01 Juli 2021 / 15:36 WIB
Pengelolaan investasi ala Bank DBS Indonesia di kuartal III tahun ini
ILUSTRASI. Di kuartal III tahun ini, Bank DBS memberi rekomendasi untuk mengalokasikan porsi lebih besar pada saham dibanding obligasi. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki kuartal III tahun 2021, Bank DBS Indonesia mengeluarkan panduan penting tentang investasi. Bank DBS berharap pandangan ini bisa menjelaskan bagaimana pemodal dapat berinvestasi di bulan-bulan mendatang. 

Lima pandangan tersebut disampaikan oleh Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook sebagai berikut: 

1. Saham: Menciut, namun tanpa gejolak

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun ini bergerak stagnan. IHSG hanya menghasilkan imbal hasil sebesar 0,11% secara year to date (ytd). Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed mengenai rencana pengurangan pembelian aset (Fed taper) akan membuat pasar saham melemah. Hou Wey Fook dalam rilis menjelaskan, pelemahan harga saham tidak akan menimbulkan gejolak signifikan. 

Baca Juga: Investasi Obligasi SBR-010 Bermodal Mulai Rp 1 Juta, Takar Plus Minusnya

Sejatinya, Fook menjelaskan, terjadi perbedaan pandangan antara The Fed dan pasar apakah “Fed Taper” akan menjadi kenyataan pada paruh kedua tahun ini. "Kami percaya kekhawatiran seputar pengetatan kebijakan moneter oleh Bank Sentral AS akan mendominasi perbincangan dalam beberapa bulan mendatang dan menimbulkan gejolak pasar yang lebih tinggi," terang dia dalam rilis, Kamis 1 Juli 2021. 

Menurut Hou Wey Fook, rencana pengurangan pembelian aset oleh Bank Sentral AS tidak dapat dikesampingkan jika ekspektasi inflasi mendekati angka 3%. "Karena itu kami memposisikan diri untuk menghadapi kemungkinan ini akan menjadi langkah bijak bagi alokasi portofolio," kata dia. 

Pasalnya terjadi kesamaan keadaan makro pada saat ini dan sebelum taper tantrum pada 2013. Kemudian selang beberapa waktu pasca taper talk (wacana pengurangan) dan kenaikan suku bunga. 

Hou Wey Fook menegaskan, kondisi yang terjadi kali ini tidak akan seperti tahun 2013. "Kami yakin akan terjadi pengurangan namun tanpa gejolak. Setiap pengurangan pembelian aset oleh Bank Sentral AS menyusul pemulihan ekonomi bukan hal negatif bagi pasar saham mengingat kenaikan pendapatan perusahaan seiring membaiknya perekonomian," ujar dia. 

2. Keputusan alokasi aset menjadi kunci 

Di kuartal III tahun ini, Bank DBS memberi rekomendasi untuk mengalokasikan porsi lebih besar pada saham dibanding obligasi. Menurut Hou Wey Fook, pendistribusian vaksin dan pemulihan ekonomi akan terus berlanjut sehingga ini akan mendorong kinerja saham di atas obligasi. 

"Dari perspektif lintas aset, kami mempertahankan pilihan kami atas ekuitas ketimbang obligasi. Tahun 2021 akan menjadi tahun pemulihan bagi ekonomi global," tutur dia. Namun, dari sisi momentum, perbaikan ekonomi AS, Jepang dan negara Asia selain Jepang telah mencapai puncak untuk saat ini dan beberapa moderasi terjadi. 

Sementara itu, momentum pertumbuhan Eropa tampak menjanjikan dalam beberapa kuartal ke depan mengingat keberhasilannya dalam hal vaksin. Hou Wey Fook juga menyarankan memilih Eropa, ketimbang Asia selain Jepang. 

Baca Juga: IHSG menguat 0,34% ke 6.005 hingga akhir perdagangan Kamis (1/7)

Di pasar negara maju (Developed Markets/DM), Bank DBS telah sedikit mengubah pandangan menjadi lebih positif untuk saham Eropa. Data terbaru menunjukkan bahwa Eropa telah mencapai tingkat vaksinasi yang lumayan dan membuka kembali ekonominya. Angka ekonomi Eropa juga cukup mengejutkan dan lebih baik ketimbang AS/Jepang dan menggarisbawahi momentum pertumbuhan wilayah tersebut. 

Pasar Eropa juga menjadi penerima manfaat atas  penemuan vaksin, dengan titik berat pada sektor tradisional seperti keuangan, industri, dan material. Sektor itulah yang siap untuk mengalami pemulihan lebih kuat pasca pandemi. Bank DBS Indonesia juga memilih untuk memilih saham di negara maju ketimbang emerging market (negara berkembang). 

Sebab menurut Chief Investment Officer Bank DBS, kekhawatiran Bank Sentral AS akan menjadi hambatan bagi pasar negara berkembang karena ketergantungan besar pada pendanaan eksternal. Dollar AS juga diperkirakan rentan terhadap kenaikan imbal hasil surat berharga pemerintah AS. Selain itu, tidak seperti negara maju, yang berhasil mengendalikan pandemi, pasar negara berkembang masih mengalami lonjakan kasus baru secara tiba-tiba dan masih berupaya untuk kembali normal.

3. Kendaraan Otonom/Kendaraan Listrik

Kemajuan teknologi dan perubahan lanskap peraturan, kendaraan listrik (Electric Vehicles/EV) siap menyalip kendaraan bahan bakar fosil (Internal Combustion Engine Vehicles/ICEV) sebagai kendaraan masa depan. Elektrifikasi industri transportasi didukung oleh kemajuan teknologi akan membuat menyebabkan penurunan harga selain itu akan terjadi perubahan peraturan. Terakhir akan ada pergeseran sentimen konsumen. 

Harga kendaraan listrik diharapkan sama dengan ICEV pada akhir dasawarsa ini, dengan penjualan EV menyumbang 58% pada penjualan mobil baru pada 2040 (naik dari 2,7% pada 2020). Peralihan industri transportasi ke kendaraan listrik dan kendaraan otonom (Autonomous Vehicles/AV) akan menguntungkan pembuat mobil, produsen baterai, penyedia tempat pengisian daya, dan manufaktur chipset.

Baca Juga: Saham yang Buntung dan Untung di Penerapan PPKM Darurat

4. Saham dividen sebagai alternatif dari obligasi

Pada saat ini, orang berlomba-lomba mencari imbal hasil tinggi saat suku bunga rendah. Bank China dan Dana Investasi Real Estate (Real Estate Investment Trust, REIT) Singapura terbukti menawarkan dividen menarik, memainkan peran penting dari sisi pendapatan dari Strategi Barbell. Perusahaan keuangan China menunjukkan kinerja harga saham kokoh menjelang akhir 2020. REIT Singapura pun menawarkan salah satu imbal hasil dividen tertinggi di dunia sebesar 5%.

5. Prospek komoditas yang baik di tengah peningkatan permintaan
Sebagian besar komoditas, seperti, logam, energi, dan pertanian, mengalami masa sulit pada 2020 karena pandemi Covid-19 yang mengakibatkan penurunan aktivitas dan perekonomian. Namun kenaikan harga komoditas yang tinggi terjadi sejak akhir 2020, dan dapat berlanjut hingga 2021. 

Faktor pendorong kenaikan harga komoditas adalah pemulihan global yang sedang berlangsung dan permintaan komoditas yang mulai kembali pada kondisi sebelum Covid-19. Permintaan ini didorong pemulihan awal di China dan pengeluaran infrastruktur besar di AS. 

Selain itu, kebijakan moneter ekspansif dan stimulus fiskal pemerintah di seluruh dunia (terutama AS) mendorong ekspektasi inflasi dan melemahkan dollar AS. Tantangan dalam hal pasokan yang tak kunjung reda juga membuat harga komoditas terus melaju. Sebab ada pembatasan pasokan terkait Covid-19 secara sporadis, masalah rantai pasokan, dan cuaca ekstrem di wilayah tertentu.

Baca Juga: Begini proyeksi IHSG jika PPKM Darurat diterapkan

"Kami memandang akan ada moderasi harga komoditas pada paruh kedua 2021 setelah kenaikan baru-baru ini, harga rata-rata komoditas pada 2021 akan lebih tinggi secara berarti daripada 2020," papar Hou Wey Fook. Bagi produsen komoditas hulu tentu sangat menguntungkan. Tetapi, sektor konsumen hilir, prospek marginnya mungkin tidak seburuk yang diharapkan, karena permintaan lebih tinggi untuk produk akhir berarti bahwa sebagian dari biaya ini akan dialihkan ke pelanggan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×