Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
Sebab menurut Chief Investment Officer Bank DBS, kekhawatiran Bank Sentral AS akan menjadi hambatan bagi pasar negara berkembang karena ketergantungan besar pada pendanaan eksternal. Dollar AS juga diperkirakan rentan terhadap kenaikan imbal hasil surat berharga pemerintah AS. Selain itu, tidak seperti negara maju, yang berhasil mengendalikan pandemi, pasar negara berkembang masih mengalami lonjakan kasus baru secara tiba-tiba dan masih berupaya untuk kembali normal.
3. Kendaraan Otonom/Kendaraan Listrik
Kemajuan teknologi dan perubahan lanskap peraturan, kendaraan listrik (Electric Vehicles/EV) siap menyalip kendaraan bahan bakar fosil (Internal Combustion Engine Vehicles/ICEV) sebagai kendaraan masa depan. Elektrifikasi industri transportasi didukung oleh kemajuan teknologi akan membuat menyebabkan penurunan harga selain itu akan terjadi perubahan peraturan. Terakhir akan ada pergeseran sentimen konsumen.
Harga kendaraan listrik diharapkan sama dengan ICEV pada akhir dasawarsa ini, dengan penjualan EV menyumbang 58% pada penjualan mobil baru pada 2040 (naik dari 2,7% pada 2020). Peralihan industri transportasi ke kendaraan listrik dan kendaraan otonom (Autonomous Vehicles/AV) akan menguntungkan pembuat mobil, produsen baterai, penyedia tempat pengisian daya, dan manufaktur chipset.
Baca Juga: Saham yang Buntung dan Untung di Penerapan PPKM Darurat
4. Saham dividen sebagai alternatif dari obligasi
Pada saat ini, orang berlomba-lomba mencari imbal hasil tinggi saat suku bunga rendah. Bank China dan Dana Investasi Real Estate (Real Estate Investment Trust, REIT) Singapura terbukti menawarkan dividen menarik, memainkan peran penting dari sisi pendapatan dari Strategi Barbell. Perusahaan keuangan China menunjukkan kinerja harga saham kokoh menjelang akhir 2020. REIT Singapura pun menawarkan salah satu imbal hasil dividen tertinggi di dunia sebesar 5%.
5. Prospek komoditas yang baik di tengah peningkatan permintaan
Sebagian besar komoditas, seperti, logam, energi, dan pertanian, mengalami masa sulit pada 2020 karena pandemi Covid-19 yang mengakibatkan penurunan aktivitas dan perekonomian. Namun kenaikan harga komoditas yang tinggi terjadi sejak akhir 2020, dan dapat berlanjut hingga 2021.
Faktor pendorong kenaikan harga komoditas adalah pemulihan global yang sedang berlangsung dan permintaan komoditas yang mulai kembali pada kondisi sebelum Covid-19. Permintaan ini didorong pemulihan awal di China dan pengeluaran infrastruktur besar di AS.
Selain itu, kebijakan moneter ekspansif dan stimulus fiskal pemerintah di seluruh dunia (terutama AS) mendorong ekspektasi inflasi dan melemahkan dollar AS. Tantangan dalam hal pasokan yang tak kunjung reda juga membuat harga komoditas terus melaju. Sebab ada pembatasan pasokan terkait Covid-19 secara sporadis, masalah rantai pasokan, dan cuaca ekstrem di wilayah tertentu.
Baca Juga: Begini proyeksi IHSG jika PPKM Darurat diterapkan
"Kami memandang akan ada moderasi harga komoditas pada paruh kedua 2021 setelah kenaikan baru-baru ini, harga rata-rata komoditas pada 2021 akan lebih tinggi secara berarti daripada 2020," papar Hou Wey Fook. Bagi produsen komoditas hulu tentu sangat menguntungkan. Tetapi, sektor konsumen hilir, prospek marginnya mungkin tidak seburuk yang diharapkan, karena permintaan lebih tinggi untuk produk akhir berarti bahwa sebagian dari biaya ini akan dialihkan ke pelanggan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News