kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.894   36,00   0,23%
  • IDX 7.203   61,60   0,86%
  • KOMPAS100 1.107   11,66   1,06%
  • LQ45 878   12,21   1,41%
  • ISSI 221   1,09   0,50%
  • IDX30 449   6,54   1,48%
  • IDXHIDIV20 540   5,97   1,12%
  • IDX80 127   1,46   1,16%
  • IDXV30 135   0,73   0,55%
  • IDXQ30 149   1,79   1,22%

Penerbitan Obligasi Korporasi Diramal Semarak pada 2024, Ini Alasannya


Jumat, 17 November 2023 / 04:30 WIB
Penerbitan Obligasi Korporasi Diramal Semarak pada 2024, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Obligasi.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas penerbitan obligasi korporasi diramal lebih semarak di tahun 2024. Musim pemilihan umum (pemilu) dinilai akan mendorong perusahaan untuk menerbitkan surat utang.

Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengatakan, penerbitan obligasi korporasi tahun depan bakal lebih ramai dibandingkan tahun 2023. Hal itu sejalan dengan jumlah surat utang korporasi yang akan jatuh tempo di tahun 2024.

Berdasarkan data Pefindo per akhir Oktober, nilai jatuh tempo surat utang tahun 2024 adalah sebesar Rp146,12 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2023 ini yang hanya sebesar Rp126,89 triliun dan tertinggi kedua setelah kedua setelah tahun 2022 lalu yang mencapai Rp155,19 triliun.

“Kami memandang bahwa prospek penerbitan surat utang korporasi di tahun 2024 akan relatif lebih tinggi,” ungkap Darto kepada Kontan.co.id, Rabu (15/11).

Baca Juga: Buyback Obligasi, Eximbank Telah Buyback Obligasi Rp 138,74 Miliar

Darto memperkirakan adanya kebutuhan pembiayaan kembali (refinancing) yang lebih tinggi di tahun 2024. Hal tersebut seiring dengan nilai surat utang yang jatuh tempo tahun depan lebih besar dibandingkan tahun ini.

Korporasi juga lebih berani mengeluarkan surat utang karena roda ekonomi tergerak oleh berbagai kegiatan yang berkaitan dengan Pemilu serentak. Tidak hanya pemilihan Presiden,  tahun depan juga terdapat pemilu kepala daerah di banyak provinsi,

“Sehingga hal ini akan mendorong aktivitas perekonomian untuk tetap solid. Perusahaan membutuhkan pendanaan tambahan untuk menjawab permintaan yang meningkat,” imbuh Darto.

Darto turut melihat peluang pendanaan melalui pasar surat utang akan menjadi lebih menarik seiring likuiditas perbankan yang mulai mengetat. Di satu sisi, hal ini akan berimplikasi pada biaya pinjaman perbankan yang semakin mahal.

Di sisi lain, perbankan juga akan membutuhkan tambahan dana selain dari DPK dan pasar surat utang juga bisa menjadi opsi mereka.

Tetapi, Darto mewaspadai penerbitan surat utang korporasi tahun depan bakal lesu apabila terjadi kondisi tingkat suku bunga tinggi untuk waktu yang lama (higher for longer). Pasalnya  situasi tersebut berdampak pada kupon yang diminta investor masih akan relatif tinggi.

“Suku bunga tinggi juga akan memberikan tekanan pada leverage keuangan perusahaan,” tambahnya.

Baca Juga: Penerbitan Obligasi Korporasi Diprediksi Mencapai Rp 137 Triliun Hingga Akhir 2023

Ditambah lagi, risiko konflik geopolitik yang akan mempengaruhi perekonomian dan risk appetite investor di pasar global. Pada akhirnya situasi ini membuat yield benchmark untuk bertahan pada level yang tinggi dan turut berdampak pada pergerakan yield obligasi korporasi.

Darto menilai, invasi Israel ke Palestina baru-baru ini berpotensi untuk mendorong harga minyak naik jika konflik meluas. Sehingga menciptakan risiko baru dari tekanan inflasi akibat harga energi yang melonjak.

Dampak suku bunga yang masih tinggi pun dapat meluas dan bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global, terutama pada negara-negara mitra dagang. Jika ekspor dan nilai tukar terganggu, maka bakal menjadi downside risk bagi ekonomi dalam negeri.

“Selain berdampak terhadap perusahaan-perusahaan berbasis ekspor, kondisi ini bisa membuat rupiah lebih volatile, yang mana pada akhirnya meningkatkan premi risiko yang diminta investor global ketika masuk ke pasar domestik,” jelas Darto.

Menurut Darto, seiring suku bunga yang tinggi dan ketidakpastian eksternal, investor nantinya akan lebih memilih untuk menginvestasikan dananya pada negara yang dinilai memiliki risiko relatif lebih rendah seperti negara-negara maju.

Kalaupun menargetkan pasar negara berkembang, investor akan selektif yakni hanya memilih negara-negara dengan neraca pembayaran yang tangguh.

“Potensi arus keluar modal asing membuat imbal hasil (yield) benchmark berada pada tekanan dan kupon bertahan di level yang tinggi. Selain itu, ketidakpastian akan mendorong investor untuk memegang aset safe havens atau kas guna memanfaatkan momentum jangka pendek di pasar keuangan,” pungkas Darto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×