Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menggenjot transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT). Terkini, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan segera merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sampai dengan 2040.
Di dalam RUPTL yang baru ini, porsi penambahan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 60 Giga Watt (GW).
PLN berencana menambah 60 GW pembangkit berbasis EBT sampai 2040 atau porsi penambahan pembangkit hijau mencapai 75%. Di dalam rencana ini, PLN akan membangun 32 GW pembangkit EBT yang bisa diandalkan menjadi beban listrik dasar (baseload).
Sebagai informasi, sejumlah pembangkit EBT yang bisa menjadi base load adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Baca Juga: Saham BBRI Diproyeksi Terus Naik, Ini Sebabnya
Analis Henan Putihrai Sekuritas Arandi Pradana menilai, adanya revisi kebijakan EBT oleh PLN menunjukkan komitmen pemerintah dan PLN untuk mengembangkan pembangkit listrik terbarukan di Indonesia. Hal ini mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga fosil.
Tak pelak, revisi kebijakan EBT ini bisa menguntungkan emiten-emiten yang berkecimpung di bidang energi bersih. Kenaikan target EBT akan meningkatkan permintaan dan kapasitas energi dari emiten-emiten tersebut.
Saat ini, cukup banyak emiten yang berfokus ke energi terbarukan. Misal, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) melalui anak usahanya, PT Star Energy, yang bermain di bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal.
Lalu ada PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA), dan PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) di segmen PLTA.
Ada juga pemain baru yang berkecimpung di bisnis EBT. Seperti PT United Tractors Tbk (UNTR) yang masuk ke bisnis geothermal. UNTR melalui perusahaan terkendalinya yakni Energia Prima Nusantara (EPN), mengakuisisi sebanyak 680.000 saham Supreme Energy Sriwijaya yang merupakan Perusahaan panas bumi.
Namun, dari emiten yang bergerak di EBT tersebut, Arandi lebih menyukai emiten dengan pembangkit listrik tenaga panas bumi seperti PGEO dan BRPT.
“Karena panas bumi lebih stabil untuk menghasilkan listrik dibandingkan pembangkit listrik EBT lainnya,” kata Arandi kepada Kontan.co.id, Jumat (8/9).
Baca Juga: Kinerja Diproyeksi Masih Tertekan, Cek Rekomendasi Saham PT Timah (TINS)
Prospek PGEO juga didukung oleh kenaikan kapasitas produksinya. Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan menyebut PGEO menargetkan peningkatan kapasitas terpasang yang dikelola langsung menjadi 1 gigawatt (GW). Dari kapasitas terpasang 672 MW, PGEO akan menambah 340 MW dalam dua tahun ke depan.
Tambahan 340 MW akan diperoleh dari proyek-proyek yang siap dijalankan seperti Hulu Lais (Unit 1 dan 2) sebesar 110 MW, Lumut Balai (Unit 2) sebesar 55 MW dan optimalisasi teknologi biner di wilayah yang sudah ada seperti Hululais, Lumut. Balai, Ulubelu dan Lahendong.
Pada paruh pertama 2023, anak usaha Pertamina ini telah mencapai sekitar 53% dari target produksi tahun ini yang diperkirakan mencapai 4.523 gigawatt hour (GWH).
Katalis positif juga datang dari implementasi bursa karbon. Hasan meyakini, bursa karbon dapat menjadi katalis positif bagi PGEO. Sebab, skema bursa karbon akan mendatangkan lebih banyak calon pembeli potensial bagi segmen bisnis karbon kredit yang dijalankan PGEO.
Hal ini sejalan dengan ekspektasi PGEO, dimana pendapatan carbon credit akan tumbuh dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.