kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Kinerja Diproyeksi Masih Tertekan, Cek Rekomendasi Saham PT Timah (TINS)


Senin, 11 September 2023 / 13:21 WIB
Kinerja Diproyeksi Masih Tertekan, Cek Rekomendasi Saham PT Timah (TINS)
ILUSTRASI. Smelter Unit Metalurgi PT Timah Tbk (TINS) di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung.


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Timah Tbk (TINS) anjlok sepanjang enam bulan pertama 2023. Pendapatan dan laba bersih emiten pelat merah ini kompak ambles terseret penurunan harga jual rata-rata logam timah.

Laba bersih TINS terjun 98,5% secara year-on-year (YoY), menyisakan hanya Rp 16,26 miliar pada semester I-2023.  Bandingkan dengan laba bersih yang diraih TINS pada semester I-2022 yang mencapai Rp 1,08 triliun.

Alhasil, realisasi laba bersih ini berada di bawah ekspektasi Analis Ciptadana Sekuritas Asia Thomas Radityo. Bahkan, realisasi tersebut hanya memenuhi 4,6% dari ekspektasi laba bersih tahun ini.

TINS mengantongi pendapatan senilai Rp 4,57 triliun pada semester I-2023. Realisasi ini merosot 38,82% dibandingkan raihan Rp 7,47 triliun pada semester I-2022. Menurut Thomas, penurunan pendapatan ini terutama disebabkan oleh penurunan harga jual timah sebesar 34,7% dan volume dibarengi penurunan penjualan timah olahan. Pendapatan ini mewakili 55,4% dari estimasi pendapatan tahun ini

Baca Juga: Dugaan Pelanggaran Hukum Pertambangan Timah, Pushep: Momentum Bersih-bersih

Penurunan beban penjualan dan biaya operasional masing-masing sebesar 24,3% dan 10,3% YoY tidak mampu melampaui penurunan pendapatan. Alhasil, TINS mencatat kerugian operasional sebesar Rp 87 miliar, yang jauh di bawah ekspektasi Thomas. Namun, kinerja TINS turut ditopang oleh adanya pendapatan lain-lain sebesar Rp 129 miliar

Pada semester I-203, TINS memproduksi 7.755 bijih timah, memproduksi 8.100 ton logam timah, dan menjual 8.307 ton timah olahan. Ini berarti realisasi kinerja TINS hanya memenuhi masing-masing 34%, 36% dan 38% dari target yang dipasang Thomas. Realisasi operasional TINS juga masih jauh berada di bawah target yang ditetapkan manajemen, yakni sebesar 26.000 ton timah olahan.

Meskipun manajemen menyebut adanya perbaikan kinerja operasional di Agustus 2023,  Thomas tetap memperkirakan produktivitas TINS akan terus menurun di sisa tahun ini. Oleh karena itu, Thomas merevisi target kinerja operasional TINS.

Produksi bijih TINS tahun ini diekspektasikan hanya mencapai 19.761 ton, turun 10,7% dari ekspektasi sebelumnya yang mencapai 22.134 ton. Proyeksi produksi timah olahan diturunkan 8,9% dari semula 21.470 ton menjadi 19.564 ton. Terakhir, volume penjualan timah olahan dipangkas 7,9% dari semula 21.041 ton menjadi 19.368 ton.

Baca Juga: Simak Prospek Saham PTBA, TINS, ANTM di Tengah Lesunya Harga Komoditas

Namun, Thomas mempertahankan harga jual rata-rata timah olahan tahun ini di level US$ 24.720 per ton. Dus, stabilnya ASP ini masih memungkinkan adanya  peningkatan pendapatan TINS di tahun 2023 sampai 2025 masing-masing sebesar 2,7%, 1,7% dan 1,0% menjadi Rp 8,4 triliun, Rp 8,8 triliun, dan Rp 9,2 triliun. Thomas juga mengapresiasi upaya TINS dalam memaksimalkan efisiensi di seluruh rantai bisnis.

Hanya saja, Thomas memprediksi biaya tunai alias cash cost TINS masih akan tinggi. Tahun ini, cash cost TINS diestimasikan naik 23,5% menjadi US$ 22.185 per ton dari sebelumnya US$ 17.969 per ton. Alhasil, Thomas memperkirakan TINS akan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 75 miliar tahun ini, dari sebelumnya diestimasikan membukukan laba bersih sebesar Rp 333 miliar.

Thomas menurunkan rekomendasi saham TINS menjadi sell dan juga memangkas target harga TINS menjadi Rp 550 per saham dari sebelumnya Rp 1.000 per saham.

“Risiko yang mungkin terjadi pada rekomendasi kami adalah ketidakstabilan harga timah, perubahan regulasi pemerintah, penambangan timah ilegal, terganggunya kegiatan operasional, dan kenaikan biaya bahan bakar yang meningkatkan biaya tunai,” tulis Thomas dalam riset, Kamis (7/9).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×