Reporter: Yuliana Hema | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah masih belum mampu keluar dari tekanan di zona Rp 16.000. Nilai tukar rupiah di pasar spot menutup perdagangan Senin (22/4) dengan melemah 0,14% di level Rp 16.237 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan rupiah ini bakal menjadi sentimen negatif bagi emiten yang memiliki utang jumbo dalam mata uang dolar AS. Bahkan. Kondisi semakin diperparah dengan era suku bunga tinggi yang akan berlangsung lama.
Direktur Infovesta Edbert Suryajaya menjelaskan pelemahan rupiah salah satunya disebabkan oleh permintaan akan dolar AS yang sedang melonjak. Ini disebabkan oleh ketegangan antara Iran dan Israel yang semakin memanas.
Baca Juga: Asing Tinggalkan Pasar Indonesia, Khawatirkan Suku Bunga Tinggi dan Risiko Perang
Pasalnya, tensi geopolitik yang kian memanas dan tidak bisa diprediksi ini menimbulkan ketidakpastian di pasar. Alhasil, pelaku pasar dan investor akan beralih kepada aset yang lebih aman seperti emas dan dolar AS.
Apalagi ketegangan yang terjadi di Timur Tengah ini turut mendorong kenaikan harga komoditas. Edbert bilang kenaikan harga komoditas ini bakal memicu lonjakan inflasi dan membuat penurunan suku bunga global akan semakin lama.
"Ada peluang terbuka kalau kinerja emiten melemah atau laba turun di tahun ini, yang setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni suku bunga dan efek negatif kenaikan harga komoditas," katanya saat ditemui Kontan, Senin (22/4).
Edbert mengatakan investor mesti hati-hati dengan emiten yang punya utang gede, terutama emiten yang menggunakan permodalan eksternal seperti surat utang dan kredit sindikasi dari perbankan.
"Apalagi ada potensi bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga. Otomatis kalau suku bunga naik, maka beban keuangan para emiten juga akan meningkat," ucap Edbert.
Dalam catatan Kontan, ada beberapa emiten yang memiliki utang dolar AS yang tinggi. Seperti, PT Modernland Realty Tbk (MDLN) yang utang obligasi dalam dolar AS yang setara dengan Rp 5,75 triliun selama 2023.
Masih di sektor properti, ada PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) yang punya senior notes dengan jumlah pokok yang masih terutang sebesar US$ 131,96 juta hingga akhir 2023.
Kemudian dari sektor konsumer datang dari Grup Indofood, yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang punya utang uang usaha sebesar US$ 17,43 juta dan utang jangka panjang senilai US$ 2,75 miliar.
Beban utang juga menghantui para emiten padat modal seperti, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yang punya utang pembangunan menara dan usaha lainnya mencapai US$ 19,74 miliar per 31 Desember 2023 dari US$ 1,11 miliar per Desember 2022.
Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Melonjak Jadi US$ 407,3 Miliar, Ini Penyebabnya
Head of Research Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan efek penguatan dolar AS terhadap emiten yang berhutang dolar, pastinya akan meningkatkan beban bunga yang meningkat dan penurunan profitabilitas.
"Efeknya bisa signifikan jika emiten tidak melakukan mitigasi risiko dengan strategi hedging dan peluang peningkatan pendapatannya," jelas dia kepada Kontan.
Selain itu, Sukarno mencermati adanya lonjakan inflasi bisa akan berdampak negatif bagi kinerja para emiten. Pertama, biaya produksi akan meningkat dan daya beli konsumen akan turun.
Dia menjagokan TLKM karena tahan banting dengan rasio utang yang tidak terlalu tinggi dibandingkan lainnya. Kiwoom Sekuritas sekuritas merekomendasikan buy on weakness TLKM dengan target Rp 4.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News