Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja pasar saham memang masih lesu. Namun, kinerja para emiten investasi bisa tetap positif jika menerapkan strategi investasi yang tepat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) parkir di level 6.665,045 di akhir perdagangan hari ini, Rabu (12/3). Gerak IHSG itu sudah turun 5,86% sejak awal tahun alias year to date (YTD).
Lesunya kinerja IHSG itu tentu sejalan dengan penurunan sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini membuat sejumlah emiten investasi justru menyerok kembali saham emiten yang ada dalam kepemilikan.
PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) misalnya, yang menambah kepemilikannya di saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA). Melansir keterbukaan informasi tanggal 11 Maret 2025, SRTG membeli 121.764.199 alias 121,76 juta saham Merdeka Copper Gold.
Kepala Divisi Hukum dan Sekretariat Perusahaan SRTG, Sandi Rahaju mengatakan, Saratoga membeli saham MDKA pada tanggal 5 Maret 2025 dengan harga Rp 1.405 per saham.
Sebelum transaksi, SRTG memiliki 4.791.772.374 alias 4,79 miliar saham Merdeka Copper Gold. Jumlah itu setara dengan 19,58% dari total saham MDKA.
Baca Juga: Pembagian Dividen Jadi Sentimen Penopang IHSG, Intip Saham Pilihan untuk Kamis (13/3)
“Setelah transaksi, Saratoga menggenggam 4.913.536.573 alias 4,91 miliar saham MDKA. Angka itu setara dengan 20,08% total saham Merdeka Copper Gold,” kata Sandi.
PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) juga rajin menambah kepemilikan di anak usahanya, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA). Teranyar, EMTK menyerok 74,26 juta saham SCMA pada 5 Maret 2025.
Corporate Secretary Emtek Titi Maria Rusli mengatakan bahwa transaksi pembelian saham SCMA tersebut dilakukan dengan harga Rp202 per saham sehingga biaya yang dikeluarkan sebesar Rp15 miliar.
“Setelah transaksi tersebut, kepemilikan saham EMTK di SCMA meningkat menjadi 46,46 miliar saham atau sebesar 62,82%,” ujar Titi.
Sebelumnya, EMTK sudah memborong saham SCMA pada tanggal 14 Februari, 28 Februari, dan 3 Maret 2025. Total saham SCMA yang dibeli EMTK dari tiga transaksi itu sebanyak 296,9 juta saham.
Di tengah lesunya pasar saham, PT Provident Investasi Bersama Tbk (PALM) justru menerbitkan obligasi. Terbaru, PALM menerbitkan Obligasi Berkelanjutan II Tahap IV Tahun 2025 dengan nilai pokok Rp 612,2 miliar bulan lalu.
Secara rinci, perseroan membagi obligasi tersebut menjadi dua seri. Seri A bernilai Rp 353,53 miliar dan Seri B bernilai Rp 258,67 miliar.
Selain ketiga emiten di atas, PT Astra International Tbk (ASII) juga punya sejumlah portofolio investasi. Head of Corporate Investor Relation ASII Tira Ardianti mengatakan, ASII melihat peluang pertumbuhan tidak hanya di sektor otomotif, tetapi juga di sektor-sektor yang mendukung transformasi dan keberlanjutan. Misalnya, sektor teknologi, energi terbarukan, dan kesehatan.
Di sektor teknologi, Astra sudah berinvestasi di bisnis data centre dengan membentuk perusahaan patungan bersama Equinix sejak tahun 2023.
Di sektor energi terbarukan, Astra sudah berinvestasi di energi terbarukan melalui anak usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR). Investasi energi terbarukan yang sudah dilakukan UT antara lain geothermal, solar PV, dan mini hydro.
Di sektor kesehatan, Astra telah berinvestasi di platform ekosistem kesehatan digital, Halodoc, dan di RS Hermina.
“Kami akan mengidentifikasi sektor-sektor dengan prospek jangka panjang yang relevan dengan visi kami sebagai perusahaan yang berkomitmen untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan lingkungan,” kata Tira kepada Kontan beberapa waktu lalu.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila mengatakan, kondisi pasar saham yang lesu membuat emiten mencari dana dari luar pasar saham, termasuk dari obligasi korporasi, seperti yang dilakukan PALM.
Strategi penerbitan obligasi korporasi dinilai menarik. Sebab dengan suku bunga acuan yang diproyeksikan akan turun, maka penerbitan obligasi digunakan untuk memperoleh dana yang lebih murah dengan beban bunga lebih terjaga atau lebih rendah.
Selain itu, pilihan ini menjadi strategi yang lebih stabil di tengah volatilitas pasar saham.
“Dalam kondisi pasar saham yang lesu ini, penerbitan obligasi oleh PALM merupakan langkah yang strategis, karena dapat memperoleh dana dengan biaya yang lebih terjaga,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (12/3).
Prospek kinerja keuangan emiten investasi di tahun 2025 mungkin masih akan tertekan secara profitabilitas, melihat kondisi perekonomian global yang dibayangi oleh sentimen-sentimen buruk. Misalnya, kekhawatiran perang dagang dan potensi perlambatan ekonomi.
Apalagi, Indonesia juga tengah menghadapi deflasi baru-baru ini, sehingga permintaan pun sepertinya akan menurun sedikit. Kondisi itu juga ditambah juga dengan volatilitas harga komoditas.
”Namun, PMI kita masih positif, didukung juga outlook suku bunga acuan 2025 akan turun maka kinerja saham dapat naik kembali,” ungkapnya.
Di sisi lain, harga saham para emiten investasi saat ini dinilai Indy sudah mencerminkan kinerja keuangan yang mungkin akan menurun sedikit akibat ketidakpastian perekonomian global dan domestik.
“Kinerja saham mereka bisa membaik seiring dengan kinerja keuangan, tetapi jika kebijakan-kebijakan global dan domestik implementasinya sudah efisien dan juga outlook suku bunga acuan ke depannya akan turun,” tuturnya.
Baca Juga: Prospek Cerah Emiten Unggas di Ramadan dan Lebaran 2025, Cek Rekomendasi Sahamnya
Indy pun merekomendasikan beli untuk ASII dengan target harga di Rp 5.000 per saham. Investor juga bisa mengambil momentum pembagian dividen, karena ASII konsisten bagi dividen selama 3 tahun terakhir.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer melihat, kondisi pasar saham yang lesu saat ini dapat memberikan tantangan bagi emiten investasi dalam mengelola portofolio mereka.
Sebagai contoh, ASII merupakan perusahaan dengan diversifikasi bisnis yang luas, termasuk di sektor otomotif, alat berat, jasa keuangan, dan infrastruktur. Dengan hal itu, ASII memiliki fleksibilitas dalam mengelola risiko investasi.
Jika volatilitas pasar terus berlanjut, ASII dapat mencari sumber pendanaan alternatif di luar pasar saham, seperti penerbitan obligasi atau pinjaman bank, untuk mendukung ekspansi bisnisnya.
“Posisi nilai tukar rupiah yang tengah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga menjadi pemberat emiten sektor otomotif ini,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (12/3).
Prospek kinerja keuangan ASII di tahun 2025 masih berpeluang membaik dibandingkan 2024. Dengan catatan, ada perbaikan daya beli masyarakat, pertumbuhan sektor otomotif, dan stabilisasi harga komoditas.
Portofolio investasi ASII yang kuat di berbagai sektor dapat menjadi faktor pendukung kinerja yang lebih stabil dibandingkan emiten investasi lainnya. Namun, sentimen negatif, seperti ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi suku bunga, tetap menjadi risiko yang perlu diperhatikan.
“Jika pasar membaik dan sektor otomotif serta komoditas kembali menguat, harga saham ASII berpotensi mengalami pemulihan dan mencerminkan fundamental bisnisnya yang tetap solid,” ungkapnya.
Azis pun merekomendasikan trading buy untuk ASII dengan target harga Rp 5.200 per saham.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana melihat, pergerakan saham SRTG saat ini ada di level support Rp 1.750 per saham dan resistance Rp 1.900 per saham. Herditya pun merekomendasikan trading buy untuk SRTG dengan target harga Rp 1.980 - Rp 2.100 per saham.
Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project, William Hartanto melihat, pergerakan saham SRTG ada di level support Rp 1.690 per saham dan resistance Rp 1.995 per saham, dengan tren sideways mengarah pada fase jenuh jual, sehingga berpotensi rebound. Rekomendasi buy on weakness disematkan William untuk SRTG dengan target harga Rp 1.995 per saham.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Teknikal Mirae Sekuritas Saham Bank BMRI, BBNI & BBCA Rabu (12/3)
Selanjutnya: Hartadinata Abadi (HRTA) Siap Mengambil Peran Penting Dalam Ekosistem Bullion Bank
Menarik Dibaca: Ninja Xpress Bagikan Tips Jalankan Bisnis Franchise di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News