Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan pasar surat utang domestik diperkirakan masih berlanjut. Suku bunga tinggi The Fed yang masih bakal bertahan akan berdampak pada lonjakan imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS).
Mengutip tradingeconomics, imbal hasil obligasi AS atau yield US Treasury tenor 10 tahun sebagai acuan, sempat menyentuh level 4,85% di hari ini, Rabu (18/10). Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus tahun 2007.
Director & Chief Investment Officer Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mencermati, lonjakan imbal hasil obligasi AS akibat data-data ekonomi negara tersebut telah mengejutkan pasar. Ini mendorong sentimen pasar bahwa The Fed masih akan mengerek suku bunga di bulan November.
Data penjualan ritel AS meningkat lebih dari dua kali lipat dari perkiraan pasar sebesar 0,3% MoM menjadi 0,7% MoM di bulan September 2023. Serta, data produksi industri AS secara tak terduga meningkat 0,3% MoM di bulan September yang mematahkan perkiraan pasar bahwa data tersebut bakal bergerak flat 0%.
Baca Juga: Lonjakan Yield US Treasury Masih Menekan Pasar Surat Utang Domestik
“Alhasil, investor masih wait and see dulu dan mengurangi risiko,” kata Ezra kepada Kontan.co.id, Rabu (18/10).
Tekanan bagi pasar surat utang domestik tercemin dari lonjakan imbal hasil dan terkoreksinya harga. Yield SUN Tenor 10 Tahun sebagai acuan pasar telah kembali merangkak naik pada hari ini ke level 6,84% dari level kemarin sekitar 6,80%.
Aktivitas lelang Surat Utang Negara (SUN) pun mencatatkan hanya sedikit penawaran masuk sebesar Rp 16,99 triliun di Selasa (17/10) kemarin. Ini menjadikan penawaran masuk lelang SBN ataupun SBSN tercatat turun dalam tiga kali lelang yang dilaksanakan di bulan Oktober.
Chief Dealer Fixed Income & Derivatives Bank Negara Indonesia (BNI) Fudji Rahardjo menjelaskan, kepastian dari data inflasi AS dan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) masih menjadi perhatian utama pasar obligasi tanah air. Kedua data tersebut dinantikan untuk menilai situasi ekonomi global.
“Investor masih menunggu kepastian terkait kepastian dari suku bunga FFR lebih lanjut. Ditambah lagi, konflik geopolitik yang memanas antara Israel – Hamas yang mendorong investor untuk lebih memilih untuk wait and see dan cenderung memilih aset safe haven,” ungkap Fudji saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (18/10).
Dari domestik, keputusan Bank Indonesia (BI) dianggap tidak akan banyak mengubah kondisi pasar. Bank sentral diperkirakan masih akan menahan suku bunga di level 5,75% pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan September pada Kamis (19/10).
Menurut Fudji, pasar akan merespons cukup baik dengan adanya kestabilan suku bunga Bank Indonesia. BI pun memang tidak ada urgensi untuk mengerek suku bunga karena inflasi dalam negeri sudah dalam level yang terjaga dari target Bank Indonesia.
Baca Juga: Lelang SUN Catat Penawaran Rp 16,98 Triliun, Pemerintah Menangkan Rp 10,2 Triliun
Hanya saja, ancaman dari adanya potensi kenaikan FFR sampai dengan level yang sama dengan BI7DRR berpotensi memberikan dampak buruk pada pasar obligasi dalam negeri. Seperti diketahui, The Fed telah menyebarkan wacana mereka untuk menaikkan suku bunga satu kali lagi sebesar 25 bps ke level 5,5% - 5,75% di bulan November 2023.
“Selisih yang menyempit akan menciptakan outflow asing maupun berdampak pada melonjaknya imbal hasil obligasi tanah air. Namun adanya stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri diharapkan bisa menahan keluarnya asing lebih besar, serta menjaga minat investor dalam negeri,” imbuh Fudji.
Fudji berujar, pada situasi yield meningkat dalam jangka panjang, SUN dengan tenor pendek cenderung lebih banyak diburu investor. Di sisi lain, momentum koreksi harga obligasi semestinya dorongan untuk time to buy terutama pada obligasi korporasi, apabila investor berpandangan suku bunga akan turun.
Sementara itu, Ezra melihat pasar obligasi akan lebih kondusif setelah pertemuan Fed di awal November. Dengan demikian, imbal hasil SBN 10 tahun dapat kembali lagi turun ke arah level 6.5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News