Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Meskipun data dalam negeri bagus, rupiah tetap tak berkutik di hadapan dollar AS. Komentar bos The Fed Janet Yellen pada Jumat (14/10) lalu dan sajian data-data perekonomian AS yang ciamik ditengarai menjadi faktor yang mengoreksi rupiah Senin (17/10) kemarin.
Mengutip Bloomberg, pada pasar spot rupiah terlihat berada di level Rp 13.069 per dollar AS, melemah 0,28% dari penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 13.033 per dollar AS. Apabila dibandingkan dengan Senin pekan lalu, rupiah justru melemah sebesar 0,68%.
Senin (10/10) merupakan kali terakhir rupiah berada di bawah level Rp 13.000 selama dua pekan terakhir. Tercatat, pada Senin (10/10) rupiah ditutup di level Rp 12.977 per dollar AS.
David Sumual, ekonom Bank Central Asia merasa pelemahan rupiah terhadap dollar AS lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. "Padahal data dalam negeri kita bagus, neraca perdagangan surplus," katanya.
Memang, berdasarkan rilis dari BPS pada Senin (17/10), tercatat neraca perdagangan Indonesia pada bulan September surplus sebesar US$ 1,21 miliar, tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
Memang, sajian data AS pekan lalu terlihat baik, sebut saja data penjualan retail di negeri Abang Sam itu pada bulan September yang naik 0,6%. Peningkatan ini merupakan yang terbesar dalam tiga bulan terakhir
Ke depan, David merasa pelaku pasar harus mencermati data-data global. Maklum, sepanjang pekan depan, banyak data-data penting keluar dari AS seperti data consumer price index, residential building permits, unemployment claim, sampai pernyataan-pernyataan para petinggi bank sentral negara bagian AS.
"Memang pekan ini dari dalam negeri akan ada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan mengkaji ulang tingkat suku bunga. Namun ekspektasinya tetap. Jadi ke depan akan banyak dipengaruhi sentimen global," ujarnya
Berdasarkan analisis fundamental tersebut, David memprediksi Selasa besok (18/10) rupiah bakal menguat stabil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News