kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,32   0,03   0.00%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OJK-BEI Atur Stock Split dan Reverse Stock, Ini Poin Krusial Bagi Pelaku Pasar


Kamis, 08 September 2022 / 17:03 WIB
OJK-BEI Atur Stock Split dan Reverse Stock, Ini Poin Krusial Bagi Pelaku Pasar
ILUSTRASI. OJK dan BEI atur stock split dan reverse stock


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan beleid khusus yang mengatur pemecahan saham (stock split) dan penggabungan saham (reverse stock split) oleh perusahaan terbuka. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022.

Peraturan OJK (POJK) yang diundangkan pada 22 Agustus 2022 ini menegaskan, perusahaan terbuka yang melakukan stock split dan reverse stock split wajib terlebih dulu memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Di samping itu, beleid ini juga memperkuat posisi Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam pelaksanaan kedua aksi korporasi tersebut. Pasal 5 POJK mengatur emiten yang berencana stock split dan reverse stock split wajib memperoleh persetujuan prinsip dari bursa efek.

Persetujuan prinsip itu harus diperoleh sebelum pengumuman RUPS dalam rangka persetujuan stock split dan reverse stock split. Setidaknya ada enam kriteria yang harus dipertimbangkan oleh BEI dalam memberikan persetujuan prinsip atas aksi korporasi tersebut.

Pertama, tingkat likuiditas perdagangan saham. Kedua, harga saham dan fluktuasi harga saham. Ketiga, kinerja fundamental keuangan. Keempat, rasio pemecahan dan penggabungan saham. Kelima, jumlah saham beredar yang dimiliki oleh masyarakat. Keenam, pengawasan perdagangan saham.

Baca Juga: Stock Split dan Reverse Stock emiten Harus Dapat Izin Bursa, ini kata BEI

Pengamat Pasar Modal dan President Commissioner Restu Investama, Fendi Susiyanto, melihat persetujuan prinsip dari BEI menjadi poin yang krusial. Pasalnya selama ini keputusan terkait pelaksanaan, harga, hingga rasionya lebih dominan ditentukan usulan manajemen dan pemegang saham mayoritas.

Sementara itu, posisi investor publik, terutama investor ritel dalam RUPS cenderung lemah. Oleh sebab itu, penguatan fungsi kontrol BEI seperti pada metode four eyes principles penting untuk mengukur kelayakan rencana stock split atau reverse stock split yang diajukan emiten.

"Jadi tidak hanya berhenti di level usulan emiten dan RUPS. Ada ruang bagi keterlibatan otoritas. Misalnya, kalau ada emiten yang mau rasio 1:5, nanti ada kajian dan persetujuan dulu kelayakannya seperti apa," terang Fendi saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (8/9).

Meski begitu, Fendi mengingatkan bahwa persetujuan prinsip dari BEI itu tidak bisa menjamin level harga saham bisa naik atau bertahan setelah aksi korporasi selesai. Tapi setidaknya, hal ini bisa lebih memitigasi risiko kerugian investor.

"Kalau sudah dilepas, ya itu menjadi risiko pasar. Tapi pemicu harga itu kan rasio dan fundamentalnya seperti apa. Dengan adanya izin prinsip ini, setidaknya bursa juga melakukan analisa, itu bisa jadi pertimbangan investor," imbuh Fendi.

Baca Juga: Simak Ketentuan Baru Soal Stock Split dan Reverse Stock yang Diterbitkan OJK

Lebih lanjut, Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyoroti jangka waktu pelaksanaan stock split dan reverse stock split. Beleid ini memperjelas aturan bahwa aksi korporasi ini dapat dilakukan minimal dua tahun setelah emiten melantai (IPO) di BEI.

Kemudian, ada batas waktu minimal satu tahun antara stock split atau reverse stock split dengan aksi korporasi lainnya seperti rights issue. Terkecuali bagi emiten keuangan dan emiten yang membutuhkan suntikan modal dengan segera.

"Hal ini positif untuk memberikan waktu agar aksi-aksi korporasi terkait reverse stock diikuti dengan rights issue yang berpotensi mendilusi saham investor publik bisa lebih terbatas," jelas Wawan.

Wawan menjelaskan, reverse stock split pada umumnya dilakukan ketika emiten ingin melakukan aksi korporasi lain seperti rights issue. Pasar bisa merespons positif atau negatif tergantung peruntukannya.

Hanya saja, reverse stock split cenderung terkesan negatif. Sebab, beberapa reverse stock yang dilakukan membuat kerugian investor bisa semakin dalam.

"Pahami dulu aksi korporasi apa yang sedang dilakukan, karena reverse umumnya dilakukan emiten yang harganya mendekati Rp 50, dan fundamentalnya dipandang tidak sebaik industri," terang Wawan.

Berbeda dengan stock split, yang umumnya dilakukan untuk menambah likuditas di pasar dengan memecah harga saham. Harapannya, investor ritel yang dananya terbatas bisa ikut berpartisipasi. "Oleh karena itu stock split umumnya berimbas positif," kata Wawan.

Biasanya, stock split dilakukan apabila harga saham terus naik di atas Rp 10.000. Sebagai contoh, untuk membeli 1 lot (100 lembar) emiten dengan harga saham Rp 10.000 ini diperlukan dana Rp 1 juta, yang secara psikologis mahal untuk dijangkau investor ritel.

Baca Juga: POJK Baru, Emiten Mau Stock Split dan Reverse Stock Harus Dapat Izin BEI

Stock split dilakukan untuk memperkecil nominal minimum pembelian sahamnya. "Stock split memang memberikan likuiditas dan dapat menambah kepemilikan saham oleh publik tetapi pergerakan harga saham dalam jangka panjang akan terus mencerminkan fundamentalnya," tegas Wawan.

Hal senada disampaikan oleh CEO Edvisor.id Praska Putrantyo. Menurutnya, aksi stock split cenderung tidak mendatangkan risiko yang besar bagi investor. Hanya saja, untuk dapat mendulang cuan, investor perlu mencermati momentum yang tepat untuk mengoleksi sahamnya.

"Emiten stock split cenderung fundamental bagus. Yang perlu diperhatikan adalah timing mengejar momentum naik. Karena tendensinya, jelang stock split harga saham naik. Setelah itu, cenderung melandai," kata Praska.

Sedangkan untuk reverse stock split, investor harus memitigasi risiko turun yang lebih besar setelah aksi korporasi dilakukan. Investor perlu lebih dulu mempertimbangkan kondisi fundamental, likuiditas, prospek bisnis, hingga aksi korporasi yang akan dilakukan emiten untuk menumbuhkan kinerjanya.

"Kalau kriteria itu dinilai baik, maka risiko untuk harganya turun jadi lebih kecil. Kalau tidak, begitu harga sudah di atas, lebih rawan turun lagi, dan sahamnya tidak likuid," tandas Praska.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×