Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran dana dari investor asing masih deras mengalir ke pasar Indonesia. Hingga Kamis (14/4), Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat beli bersih (net buy) asing menembus Rp 41,40 triliun sejak awal tahun 2022.
Dalam sepekan terakhir, net buy asing mencapai Rp 5,29 triliun di pasar reguler, berdasarkan data RTI.
Berdasarkan data RTI, berikut saham dengan net buy lebih dari Rp 1 triliun sejak awal tahun:
- Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Rp 10,06 triliun
- Telkom Indonesia (TLKM) Rp 9,71 triliun
- Bank Negara Indonesia (BBNI) Rp 5,75 triliun
- Bank Central Asia (BBCA) Rp 5,75 triliun
- Astra International (ASII) Rp 3,68 triliun
- Bank Jago (ARTO) Rp 2,73 triliun
- Elang Mahkota Teknologi (EMTK) Rp 2,73 triliun
- Bank Mandiri (BMRI) Rp 2,12 triliun
- Adaro Energy Indonesia (ADRO) Rp 1,59 triliun
- United Tractors (UNTR) Rp 1,47 triliun
- Merdeka Copper Gold (MDKA) Rp 1,23 triliun
- Vale Indonesia (INCO) Rp 1,09 triliun
Baca Juga: Top Gainers Sepekan, Saham WIR Group (WIRG) Melesat 101,82%
Senior Technical Analyst Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata membeberkan, setidaknya ada tiga faktor yang mendorong derasnya dana asing masuk ke pasar saham Indonesia. Pertama, faktor pemulihan ekonomi dan pengendalian pandemi covid-19 yang mendorong pelonggaran mobilitas masyarakat.
Kedua, eskalasi geopolitik konflik Rusia-Ukraina membuat harga komoditas meroket. Di saat bursa di banyak negara terimbas negatif, Indonesia justru dipandang prospektif karena karakteristik pasar yang ditopang oleh komoditas.
Hasil komoditas Indonesia yang sebagian besar diekspor akan kembali jadi penopang surplus neraca perdagangan dan nilai tukar Rupiah. Ketiga, sentimen positif datang dari kinerja keuangan sejumlah emiten yang cemerlang sepanjang 2021.
Baca Juga: Asing Catatkan Net Buy Rp 3,88 Triliun Dalam Sepekan, TLKM Jadi Favorit
Kondisi ini menunjukkan perbaikan kinerja bisnis yang cukup signifikan terutama di sektor perbankan big caps, batubara dan kelapa sawit. Performa yang pada umumnya mentereng memungkinkan banyak emiten membagikan dividen, sehingga semakin menambah daya tarik.
Selain itu, ramainya aksi initial public offering (IPO) juga menjadi magnet tersendiri. Terutama IPO berskala jumbo seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang telah menyedot perhatian investor asing dan dalam negeri.
"Lebih lanjut lagi, situasi kurang kondusif yang terjadi di Eropa dan Amerika berpotensi membuat dana asing mencari tempat yang lebih aman. Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup aman," kata Liza kepada Kontan.co.id, Rabu (13/4).
Liza melihat aliran dana asing ke bursa Indonesia masih dalam tahap wajar. Net flow asing yang masuk konsisten sejak awal tahun menjadi kabar yang menggembirakan. Di sisi lain, meski berpotensi, tapi fenomena sell in May pun belum tentu akan terjadi secara signifikan.
Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus melihat kondisi fundamental Indonesia masih solid. Menimbang hal ini, besar kemungkinan dana asing akan bertahan. Perbaikan ekonomi, penanganan pandemi, kurs rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan perbaikan kinerja emiten menjadi sederet sentimen positif.
Baca Juga: Kapitalisasi BEI Capai Rp 9.405,31 Triliun Dalam Sepekan, Cetak Rekor Tertinggi
Risiko Pembalikan Arus
Meski dengan optimisme yang sama, tapi Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengingatkan bahwa kemungkinan dana asing untuk pergi dari Indonesia tetap terbuka. Namun sekalipun dana asing keluar dari Indonesia, Nico memperkirakan dampaknya hanya akan jangka pendek.
"Karena dominasi investor retail dan institusi siap untuk menopang pasar. Namun pertanyaannya, seberapa jauh yang akan dilakukan oleh mereka yang berkepentingan untuk menjaga pasar tetap kondusif dan stabil," ujar Nico.
Jika dana asing lari dari pasar saham Indonesia, Daniel memandang salah satu penyebabnya datang dari kenaikan tingkat suku bunga The Fed. Di sisi lain, potensi sell in May tetap terbuka, meski diperkirakan capital outflow akan kecil dan lebih ke arah aksi ambil untung. Bukan karena memburuknya fundamental dan iklim investasi di Indonesia.
Baca Juga: IHSG Belum Berhasil Tembus Level 7.300, Ini Faktor Pemberatnya
Kemudian potensi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap ada, walau akan terbatas. "Melihat data statistik dari KSEI per Maret 2022, komposisi asset asing sekitar 40,5%. Jika terjadi penurunan, kemungkinan besar hanya koreksi minor dan merupakan profit taking, investor lokal mampu menahan net sell dari asing," terang Daniel.
Liza menambahkan, patut dicermati juga risiko jangka panjang lonjakan harga komoditas yang bisa menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, dan naiknya inflasi secara global. Inflasi di Amerika Serikat pun masih bergerak liar, yang mendorong The Fed segera menaikkan suku bunga lebih agresif.
Jika hal itu terjadi, investor ke depannya berpotensi mengalihkan investasi ke instrumen yang lebih rendah risiko seperti obligasi, deposito atau bahkan emas. "Nah saat seperti ini yang mungkin dikhawatirkan akan membuat minat investor ke stock market jadi berkurang," ungkap Liza.
Baca Juga: Investor Pasar Modal Tembus 8,3 Juta hingga Kuartal I, Milenial Masih Mendominasi
Daniel juga mengingatkan agar pelaku pasar mencermati perkembangan geopolitik Rusia-Ukraina, kenaikan suku bunga The Fed dan Bank Indonesia, serta kinerja emiten. Apabila sahamnya tertekan akibat ada capital outflow tetapi fundamental emiten tetap tumbuh, maka investor bisa melakukan buy on weakness.
Nico menekankan bahwa kehati-hatian menjadi salah satu hal terpenting bagi investor untuk tetap memilih saham berfundamental kuat. Jika momen terburuk tiba, investor bisa melakukan antisipasi dengan menjual. "Atau apabila memang saham tersebut memiliki fundamental baik, akumulasi merupakan salah satu pilihan dan kesempatan," tandas Nico.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News