Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Tingginya pasokan dan bayang-bayang masa depan yang akan masih dibanjiri stok tinggi terus menekan posisi harga minyak dunia. Pelemahan tajam memicu terpuruknya harga minyak hingga menyentuh level terendahnya sejak 2009 silam.
Mengutip Bloomberg, Senin (3/8) pukul 14.45 WIB harga minyak kontrak pengiriman September 2015 di New York Mercantile Exchange merosot 1,08% di level US$ 46,61 dibanding harga penutupan akhir pekan lalu. Harga ini pun sudah tergerus 1,64% sepanjang sepekan terakhir.
Ditambahkan Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures pelemahan minyak memang masih berlanjut. Faktor utamanya datang dari Amerika Serikat setelah Baker Hughes kembali merilis data mingguan bahwa rig pengeboran minyak aktif di AS kembali meningkat sebanyak 5 unit menjadi 664 rig aktif.
“Keadaan ini memunculkan kekhawatiran pasar, AS tidak akan memangkas produksi minyaknya,” kata Deddy. Padahal saat ini pasar sedang gelisah dengan pernyataan Iran yang siap menggenjot produksinya dalam waktu dekat.
Menteri minyak Iran, Bijan Namdar Zanganeh menyatakan bahwa segera setelah sanksi minyak Iran dicabut maka ekspor produksi minyak siap digenjot hingga 500 ribu barel per hari dalam sepekan pertama. Selanjutnya, meningkat menjadi 1 juta barel per hari dalam jangka waktu sebulan setelah itu.
Walaupun itu baru berupa rencana, namun pasar sudah lebih dulu dibalut sentimen bearish. “Pelaku pasar bertanya-tanya kapan sanksi tersebut resmi dicabut dan seberapa besar realisasi ekspor itu nantinya,” papar Deddy.
Sentimen dari negara penghasil minyak ini memperbesar peluang tertekannya harga minyak dunia. Apalagi dari sisi permintaan keadaan belum banyak berubah. Ini setelah rilis data manufaktur China Agustus 2015 yang rilis Senin (3/8) menunjukkan penurunan tertajam dalam lima bulan terakhir menyentuh level 47,8.
Pelemahan ini diduga Deddy masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Selagi belum ada perubahan pasokan produksi di pasar global maka sulit mengharapkan harga untuk terdongkrak. “Ketika keadaan buruk bagi komoditas termasuk minyak, valuasi dollar AS justru melambung menambah tekanan bagi minyak,” ujar Deddy.
Jika dilihat secara pergerakan jika nantinya dalam perjalanan harga minyak tembus level US$ 45,50 per barel maka bukan tidak mungkin di akhir tahun 2015 harga berada di level US$ 42,01 per barel. Berkaca pada hal ini Deddy masih melihat tren harga minyak bearish sepanjang tahun 2015.
“Kalaupun ada kenaikan harga sifatnya hanya faktor teknikal dan tidak akan bertahan lama,” tambah Deddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News