kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Minat Pendanaan IPO Masih Besar Saat Suku Bunga Tinggi


Selasa, 15 November 2022 / 06:05 WIB
Minat Pendanaan IPO Masih Besar Saat Suku Bunga Tinggi


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai emisi emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia bergerak fluktuatif dalam lima tahun terakhir. Namun, analis memperkirakan minat IPO akan tetap tinggi.

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian melihat secara historis minat IPO mengikuti kondisi ekonomi dalam negeri yang kondusif. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keungan (OJK), nilai emisi IPO dalam lima tahun terakhir bergerak fluktuatif.

Misalnya, tahun 2017 jumlah nilai emisi IPO sebesar Rp 9,60 triliun. Pada tahun 2018, nilai emisinya naik menjadi Rp 16,43 triliun, lalu pada 2019 turun menjadi Rp 14,70 triliun. Tahun selanjutnya juga turun menjadi Rp 6,07 triliun.

Baru selanjutnya, pada 2021 nilai emisi IPO melesat dan mencetak rekor menjadi Rp 61,66 triliun. Kemudian, tahun ini sampai dengan minggu pertama November 2022 nilai emisi IPO sebesar Rp 31,59 triliun.

Baca Juga: BEI Catatkan 10 Saham, 2 Obligasi, dan 1 Sukuk Selama Sepekan

Fajar menyebutkan, membaiknya kondisi ekonomi Indonesia akan mendorong minat perusahaan-perusahaan untuk melakukan IPO. Begitu juga dengan kondisi sebaliknya. Jika kondisi ekonomi kurang baik, maka akan cenderung menyurutkan minat IPO perusahaan-perusahaan.

"Hal ini bisa dilihat di tahun 2020, ketika kondisi ekonomi sedang tidak baik, nilai IPO anjlok cukup signifikan dan beberapa perusahaan menunda aksi IPO," kata Fajar kepada Kontan.co.id, Senin (14/11).

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo juga menilai bahwa ke depan daya tarik IPO diperkirakan tetap masih tinggi. Terlebih, di era suku bunga tinggi maka investor juga cenderung meningkatkan ekspektasi return.

"Sehingga membuat nilai wajar saham emiten menjadi lebih rendah atau punya potensi capital gain yang lebih kompetitif," kata Praska.

Baca Juga: Bursa Efek Indonesia Luncurkan Indeks IDX LQ45 Low Carbon Leaders

Praska juga menyakini, dengan prospek kenaikan nilai emisi IPO pasar juga masih mampu menyerapnya. Apalagi jika prospek penggunaan dana IPO tersebut untuk kepentingan ekspansi bisnis yang strategis dan mendongkrak pertumbuhan kinerja perusahaan penerbit saham.

Secara historis, tiap tahunnya nilai emisi IPO tertinggi juga cenderung meningkat. Pada 2017, nilai emisi tertinggi dipegang PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) dengan nilai emisi Rp 1,12 triliun. Lalu pada 2018, sebesar Rp 1,33 triliun oleh PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS).

Tahun 2019, nilai emisi IPO tertinggi oleh PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Tbk (MSIG) sebesar Rp 4,76 triliun. Sempat turun pada 2020 menjadi Rp 1,03 triliun oleh PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE). Dalam dua tahun terakhir, nilai emisi IPO tertinggi mencapai dua digit dipegang PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) sebesar Rp 21,9 triliun dan PT PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) sebesar Rp 13,72 triliun.

Memang, Fajar bilang bahwa penyerapan dana IPO akan tergantung dari tingkat volatilitas pasar. Namun, dia melihat sentimen risk-on masih cukup baik sehingga akan cenderung akan terserap oleh pasar.

"Apalagi likuiditas dalam negeri masih cukup longgar meskipun Bank Indonesia sudah melakukan pengetatan moneter," pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×