kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Menyikapi perang mata uang, analis ini sarankan investor untuk defensif


Rabu, 07 Agustus 2019 / 19:24 WIB
Menyikapi perang mata uang, analis ini sarankan investor untuk defensif


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada awal pekan Agustus, pasar uang global termasuk Indonesia dikagetkan dengan makin memanasnya perang dagang Amerika Serikat dan China. Ternyata perang dagang kini telah berubah menjadi perang mata uang (currency war) setelah nilai tukar yuan China melemah drastis.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyarankan investor mengambil sikap defensif dalam menyikapi memburuknya perang dagang ini.

“Keputusan China melemahkan mata uangnya sesungguhnya beralasan mengingat surplus neraca berjalan mereka terus menipis,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (7/8).

Budi menjelaskan aksi yang dilakukan China sebagai balasan pernyataan Presiden Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai September mendatang.

Budi khawatir, pelemahan yuan yang cukup drastis merupakan aksi yang sengaja dilakukan untuk competitive devaluation. Menurut Budi aksi bank sentral China itu jelas mempersulit upaya Indonesia menurunkan defisit neraca perdagangan dengan China yang terus memburuk sejak tahun 2012.

Selama tahun 2018 lalu defisit perdagangan dengan China mencapai US$ 18,4 miliar atau melonjak 44,8% dibanding nilai selama tahun 2017.

Budi bilang, risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah menurunkan keleluasaan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga yang tujuannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Bahana TCW: Teguran keras dari lonjakan defisit neraca dagang

Budi menyarankan sebaiknya investor menyikapi perkembangan saat ini secara defensif dan berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksadana pasar uang, SBN dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman dan likuiditas lancar.

Bagi investasi di pasar saham, Budi menyarankan agar investor lebih selektif memilih portofolio sahamnya. Berbeda dengan siklus penurunan bunga sebelumnya, saat ini adalah istilah TINA (there is no alternative).

Di masa lalu, penurunan suku bunga memacu pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif. Namun saat ini Budi memproyeksikan kedua sektor tersebut menghadapi tantangan penurunan daya beli sejalan dengan pelemahan harga komoditas primer andala ekspor Indonesia.

Sebagai akibatnya investor melirik saham sektor perbankan kendati valuasi sudah mahal. Sebab sektor ini diyakini mendapat manfaat pelebaran margin keuntungan dengan penurunan bunga deposito sementara bunga kredit relatif tetap.

Budi juga mengatakan agar investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi seperti tambang dan CPO serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Pelemahan yuan kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestik.

Pemerintah China diyakini akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming sale-gas di Amerika Serikat. Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batubara dari Indonesia.

Baca Juga: Pasar keuangan bergejolak, sejumlah instrumen investasi masih bisa dilirik

Perang dagang antara China dan AS dalam jangka panjang akan mempengaruhi profil arus perdagangan dan investasi internasional. Selama tahun terjalan hingga bulan Mei 2019, data pemerintah Amerika Serikat menunjukkan Vietnam, Korea Selatan dan Taiwan sebagai pemenang.

Adapun surplus perdagangan Vietnam ke AS mencapai US$ 21,6 miliar atau naik 42,6% dibandingkan kumulatif Mei 2018. Pada periode yang sama, surplus perdagangan China turun 10%, dengan posisi US$ 137 miliar. Sementara, surplus perdagangan Indonesia turun 12,2% menjadi US$ 5,1 miliar.

“Indonesia memiliki banyak tantangan dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam,” imbuhnya.

Selain faktor infrastruktur, kepastian hukum dan insentif pajak, Budi menjelaskan banyak keluhan investor asing terkait dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang harus segera dibenahi.

Budi menambahkan investor nampaknya menanti susunan kabinet pemerintah yang baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×