Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Aturan ini dikeluarkan karena OJK menilai penyebaran Covid-19 berdampak pada kinerja dan kapasitas debitur sehingga bisa meningkat risiko kredit yang nantinya berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan.
Direktur Riset dan Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai, hal tersebut akan memberikan pengaman kepada perbankan agar non-performing loan (NPL) dapat dijaga dengan baik di tengah kondisi sekarang ini.
Baca Juga: Bank Mandiri terbitkan obligasi Rp 1 triliun, simak jadwal lengkapnya
Tidak hanya keringanan mengenai pembayaran, ia berharap adanya tingkat suku bunga kredit dapat sesuai dengan kondisi yang ada, terlebih Bank Indonesia juga sudah menurunkan tingkat suku bunga.
Sekadar mengingatkan, BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 4,5% pada Kamis (19/3) silam.
“Bank Indonesia dan pemerintah juga mengimbau agar perbankan menurunkan tingkat suku bunganya agar stimulus ekonomi melalui pemberian kredit dapat terlaksana,” katanya, Minggu (5/4).
Menurutnya, dalam kenyataan tingkat suku bunga kredit tak kunjung turun. Padahal, Bank Indonesia telah memangkas giro wajib minimum (GWM) setiap bank agar perbankan memiliki likuiditas tinggi.
Terlepas dari siapa saja perbankan yang telah mengimplementasikan himbauan tersebut, Nico berpendapat, bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan BUKU 2 cukup tertekan dengan adanya aturan keringanan bagi debitur untuk menunda pembayaran.
Hal ini lantaran bank BUKU 1 dan BUKU 2 banyak menyalurkan kredit kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan bisnis skala kecil hingga menengah, serta retail. Nah, di tengah kondisi ekonomi yang melemah akibat Covid-19, rata-rata usaha skala kecil dan menengah menjadi yang paling besar terkena dampaknya.
“Tapi seharusnya dengan adanya aturan dari pemerintah dan OJK, hal ini akan membantu meringankan beban bank dalam mengelola beban mereka,” tambahnya.
Ia menambahkan, setiap perbankan tentu memiliki standar operasional prosedur (SOP) guna memitigasi dampak penundaan pembayaran dan memastikan semua rasio berada dalam angka yang seharusnya.
“Ditambah lagi dengan adanya rujukan dari pemerintah dan OJK seharusnya baik bank kecil maupun besar, semua akan dijaga oleh baik oleh regulator,” ungkapnya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Ini sentimen yang bakal mempengaruhi pergerakan IHSG di pekan depan
Makanya, ia melihat prospek saham perbankan masih cukup menarik dan selalu menjadi primadona tiap tahunnya. “Bank salah satu sektor yang tidak ada matinya ketika ekonomi naik dan turun. Menjadi salah satu saham yang mampu bertahan saat terjadi pelemahan dan jadi sektor terdepan tatkala mengalami kenaikan,” papar Nico.
Di tengah penurunan harga saham perbankan, sambungnya, ini menjadi kesempatan yang baik untuk mulai melakukan akumulasi beli.
Ia menyarankan pelaku pasar untuk mencermati saham-saham seperti Bank Central Asia Tbk (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News