Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah penurunan kinerja pasar Indonesia, bursa asing menjadi menarik untuk dilirik. Melansir RTI, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 7.317 pada Jumat (17/5), naik 0,97% dari perdagangan hari kemarin. Sejak awal tahun, IHSG hanya mampu naik 0,61%.
Pergerakan rupiah juga masih lambat. Hari ini, rupiah spot melemah 0,19% ke Rp 15.955 per dolar Amerika Serikat (AS) dari hari kemarin. Dalam seminggu, rupiah menguat 0,57% dari perdagangan terakhir pekan lalu di Rp 16.047 per dolar AS.
Di sisi lain, sejumlah bursa asing mencatatkan kinerja yang lebih baik. Misalnya, kinerja Nasdaq naik 13,09% secara year to date (YtD). Kinerja Nikkei 225 Index Jepang naik 16,25% YtD, Hang Seng Index Hong Kong naik 16,47% YtD, Shanghai Composite Index naik 6,47%, dan Straits Times Index Singapura naik 2,59% YtD.
Hal itu pun membuat pasar saham asing menjadi lebih menarik untuk dilirik pada investor. Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat mengatakan, menaruh dana di bursa asing merupakan salah satu cara diversifikasi portofolio.
“Mereka memang tertarik saja untuk taruh dana di bursa asing, bukan karena IHSG sedang ada masalah,” ungkap dia kepada Kontan.co.id, Kamis (16/5).
Baca Juga: Ini Peta Emiten Konglomerat Penguasa BEI, Saham Milik Prajogo Pangestu Juaranya
Dulu, investasi di bursa asing tidak semudah sekarang. Teguh mulai investasi di bursa saham Indonesia pada tahun 2010 dan masuk di bursa asing pada tahun 2014. Kala itu, Teguh harus melakukan trading dengan menelepon broker yang melayani transaksi di bursa asing.
“Belajar dan cek pergerakannya masih lewat website yang dibuka pakai browser di laptop. Belum bisa di telepon genggam,” paparnya.
Investasi di bursa saham domestik mulai booming saat masuk masa pandemi Covid-19. Ini pun diikuti dengan ketertarikan mereka masuk di bursa asing. Dengan bertambahnya minat investor, para sekuritas pun mulai mengembangkan aplikasi trading. Hal ini pun membuat investor lokal makin mudah menaruh dana di pasar asing.
“Ini mulai tahun 2021. Investor jadi tidak perlu telepon equity sales dari broker asing atau datang langsung ke kantor sekuritas terkait. Trading saham bursa asing juga bisa dilakukan lewat telepon genggam dengan aplikasi yang bisa diunduh dari Apple Store atau Play Store,” ungkap dia.
Baca Juga: IHSG Melesat 3,22% Sepekan, Dana Asing Mulai Masuk Lagi
Teguh memaparkan, cara berinvestasi di bursa asing tidak jauh berbeda dengan investasi di saham domestik. Salah satu tahapannya adalah dengan verifikasi data menggunakan KTP atau paspor.
“Setelah itu, sekuritas asing itu nanti akan membukakan rekening untuk investor nanti bisa transaksi saham di bursa di negara yang dituju,” ungkapnya.
Oleh karena itu, investor harus bisa memilih sekuritas yang terbaik. Cara termudah adalah mengecek apakah aplikasi trading saham atau sekuritas terkait tercatat di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Jika ingin investasi di bursa AS, investor bisa mengecek broker yang melayani transaksi antarnegara itu di Securities and Exchange Commision (SEC). Teguh sendiri saat ini melakukan trading di bursa AS via aplikasi trading saham asing.
“Walaupun itu tidak menjamin broker atau aplikasi terkait tidak bermasalah, tetapi langkah itu bisa jadi screening awal. Jika sudah tercatat di Bappebti dan SEC, bisa dipelajari lagi kinerja masing-masing broker ini,” ungkapnya.
Teguh memang menjagokan pasar saham AS sebagai pilihan terbaik bagi investor lokal yang ingin investasi di bursa asing. Alasannya, pasar AS menjadi kiblat ekonomi dunia. Apalagi, perusahaan yang tercatat di bursa AS kapitalisasi pasarnya jumbo dengan cakupan global.
Jika dibandingkan dengan bursa Indonesia, ada sekitar 900 emiten dengan kapitalisasi pasar yang cenderung kecil dan baru merintis usaha.
“Ada sekitar 7.000 perusahaan dengan market cap jumbo di bursa AS. Dengan masuk ke bursa AS, kita bisa investasi di perusahaan dari sejumlah negara. Misalnya, Alibaba yang dari China dan DuPont asal Perancis listing di bursa NYSE,” tuturnya.
Baca Juga: Ada Penurunan Daya Beli Rokok, Cermati Rekomendasi Saham GGRM, HMSP dan WIIM
Terkait cara mendulang cuan, Teguh menyarankan investor untuk mempelajari kinerja masing-masing sektor dan perusahaan. Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik keuntungan yang pernah diraih, tetapi koreksi rupiah memberikan keuntungan baginya.
“Cara analisisnya masih sama, baca laporan keuangan masing-masing emiten. Modalnya itu dengan mampu baca laporan keuangan berbahasa Inggris,” paparnya.
Sektor favorit Teguh di bursa AS adalah teknologi, terutama Microsoft, Apple, Google, dan Meta. Teguh pun mengingatkan, investor harus paham bahwa kondisi pasar pasti akan ada momentum naik dan turun, sehingga investor bisa bersiap menghadapi potensi penurunan kinerja.
“Lewat aplikasi trading saham, investor juga bisa melihat seperti apa PBV, PER, dan ROE masing-masing perusahaan. Bisa diingat juga, bursa asing bisa terkoreksi dalam juga, seperti bursa AS di tahun 2022,” tuturnya.
Baca Juga: IHSG Menguat ke 7.317 Jumat (17/5), BBCA, BBRI, TPIA Paling Banyak Net Buy Asing
Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee mengatakan, biasanya fenomena penurunan kinerja IHSG terjadi ketika pasar sudah cukup uptrend. Apalagi, saat ini momen rilis laporan keuangan tahun 2023 dan kuartal I 2024, serta momen pembagian dividen sudah berakhir.
“Hal itu pun disertai dengan banyaknya hari libur dalam sebulan terakhir. Sehingga, membuat terjadi tekanan jual,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (17/5). Melansir RTI, net foreign sell di regular market tercatat sebesar Rp 16,25 triliun dalam sebulan terakhir.
Namun, Hans melihat kecil kemungkinan terjadi kembali koreksi besar di bulan Mei. “IHSG sudah dalam kondisi relatif tertekan disertai dengan laporan keuangan kuartal I yang kurang positif. Namun, pasar tidak akan kembali terkoreksi, bahkan ada potensi naik,” tuturnya.
Hans melihat, investor lokal yang tertarik untuk menaruh modal di bursa asing bisa menaruh di bursa Jepang dan AS yang saat ini kinerjanya lumayan positif.
“Sektor unggulannya adalah teknologi, khususnya yang terkait dengan artificial intelligence (AI),” paparnya.
Namun, Hans menyarankan investor lokal tetap menaruh modal di pasar saham domestik, mengingat harganya sedang diskon dan pasar luar kondisinya sedang naik cukup tinggi.
“Jika ingin beli saham di bursa asing, bisa via aplikasi trading via broker asing,” ungkapnya.
Baca Juga: Saham Termahal di BEI Milik Grup Sinar Mas Dian Swastatika (DSSA) Akan Stock Split
Senada, investor Kartika Sutandi atau yang akrab disapa Tjoe Ai menyarankan investor untuk tetap menaruh dana di pasar domestik.
”Investor lebih baik masuk ke pasar di saat kondisi sedang terkoreksi. Menaruh dana di bursa domestik juga bisa membantu ekonomi dalam negeri. Investor pasti lebih paham untuk analisis, karena kondisi ekonomi dan perusahaannya lebih mudah dimengerti,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (17/5).
Tjoe Ai pernah masuk investasi di bursa AS pada tahun 2001. Kala itu, dia beli saham Amazon di saat baru melantai di bursa AS.
“Saya beli via broker lokal AS, karena saat itu sedang berada di AS. Namun, setelah pulang ke Indonesia, saya sudah jual semua,” ungkapnya.
Jika investor ingin masuk di bursa asing, mereka bisa memilih bursa Jepang dan China yang kebetulan belum sekuat kinerja bursa AS. Terkait sektornya, investor bisa saja memilih sektor teknologi.
Baca Juga: Ada Skandal Emiten Mini di India, Perlu Lebih Ketat Menyeleksi Saham Papan Akselerasi
Meskipun merekomendasikan untuk tetap menahan modal di bursa domestik, Tjoe Ai pun menggarisbawahi sejumlah kondisi yang membuat hati investor lokal berat.
“Misalnya, kebijakan full call auction (FCA) itu tidak perlu ada, karena merugikan investor. Bursa juga perlu memperhatikan kondisi perusahaan yang ingin IPO. Tidak perlu banyak perusahaan IPO, yang penting kinerja perusahaan dan harga saham bisa terjaga likuid,” tuturnya.
Tjoe Ai juga menjagokan sektor komoditas di Indonesia, mengingat Indonesia termasuk negara produsen komoditas terbesar di dunia. Sayangnya, banyak kebijakan dalam negeri yang membuat harga komoditas di Indonesia masih bernilai rendah.
“Indonesia produsen timah yang besar, tetapi kinerja emiten timah masih rendah. Ini juga dialami emiten CPO yang terganjal masalah harga jual rendah karena harus menjaga harga minyak goreng di pasar,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News