Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,90% dalam satu bulan terakhir. Pada perdagangan Jumat (30/9), IHSG ditutup menguat 0,07% ke level 7.040,79.
Kepala Riset FAC Sekuritas Indonesia Wisnu Prambudi Wibowo mengatakan, penurunan IHSG yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir masih berpotensi terjadi selama kondisi eksternal masih belum begitu kondusif.
Di saat yang sama, kemungkinan capital outflow yang masih terjadi ke depannya dapat menekan rupiah lebih lanjut.
Menurut Wisnu, koreksi IHSG masih banyak dipengaruhi oleh sentimen global, misalnya saja dari petinggi The Fed yang lebih hawkish untuk menekan tingginya inflasi Amerika Serikat. Sehingga, investor berekspektasi masih akan terjadi pengetatan lanjutan kebijakan moneter atau kenaikan suku bunga hingga akhir tahun 2022.
Baca Juga: Net Sell Asing Capai Rp 3,10 Triliun Sepekan, Cek Saham-saham yang Banyak Diobral
Sebagai catatan, inflasi AS Agustus 2022 masih berada di level 8,3% atau lebih tinggi dibandingkan konsensus yang harapannya di level 8,1%. Di saat yang sama, kenaikan suku bunga juga diikuti oleh berbagai belahan dunia lainnya seperti Euro Zone, Australia, UK, Canada, Indonesia, Brazil, Philippines, dan lainnya.
Wisnu menambahkan, ekspektasi berlanjutnya kenaikan suku bunga The Fed mendorong kenaikan mata uang dollar AS ke level tertingginya, adapun saat ini dollar indeks sudah naik 19,24% yoy.
"Hal ini tentu saja berimplikasi pada pelemahan mata uang negara lain terkhusus untuk emerging market karena terjadinya capital outflow," katanya, Minggu (2/10).
Kemudian, Wisnu melanjutkan, krisis energi di benua biru juga semakin parah mendekati musim dingin tiba. Terbaru, pipa gas nord stream 2 meledak, jadi semakin meningkatkan kekhawatiran ketersediaan energi untuk pemanas dalam menghadapi musim dingin. Hal tersebut menyebabkan PMI Manufaktur Euro Area turun menjadi di level 48,5 pada September 2022 dari sebelumnya 49,6 pada Agustus 2022.
Secara terpisah, Analis Henan Putihrai Jono Syafei menambahkan turunnya pergerakan IHSG mengikuti indeks saham regional Asia dan global karena banyaknya sentimen negatif, seperti kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global, inflasi yang masih tinggi, dan menguatnya dolar AS yang membuat nilai tukar rupiah tertekan.
"Secara seasonality memang pada September biasanya IHSG mengalami koreksi, sehingga investor disarankan wait and see menunggu kondisi pasar saham global stabil," katanya.
Untungnya, kata Jono, momen window dressing yang biasanya akan mulai terlihat pada Oktober terutama pada saham LQ45 bisa mendorong pergerakan IHSG. Menurutnya, momen ini bisa dijadikan peluang bagi investor untuk mulai mengoleksi saham-saham bluechip secara bertahap.
Selain itu, sentimen positif terkait meredanya kasus Covid-19, dibukanya pembatasan sosial dan perjalanan terutama untuk wisatawan asing turut mewarnai pergerakan IHSG pada sisa akhir tahun ini.
Baca Juga: Sentimen Global Menekan IHSG Selama Sepakan
"Membaiknya perekonomian Indonesia karena ekspor yang kuat, ditambah usaha pemerintah untuk terus menarik investasi asing juga menjadi katalis positif untuk ekonomi Indonesia di akhir tahun," tambah Jono.
Dengan potensi ekonomi Indonesia akan terus membaik, maka Jono memperkirakan IHSG berpotensi dapat kembali ke level 7.300-7.400 pada kuartal akhir tahun ini. Adapun support IHSG sekarang berada di level 6.926 - 6.902.
Jono menyarankan, pelaku pasar bisa melirik saham-saham bluechip yang memiliki neraca kuat, utang sedikit, dan memiliki valuasi murah dengan harapan di akhir tahun harga sahamnya akan terapresiasi.
"Adapun sektor yang bisa diperhatikan menjelang akhir tahun yaitu perbankan, konsumer, ritel, dan komoditas," pungkas Jono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News