Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
Karena itu, margin INCO juga berpotensi mengalami perbaikan di tengah turunnya beban pokok, menyusul penurunan harga komoditas minyak dan batu bara. Asal tahu saja, beban bahan bakar, pelumas dan batu bara berkontribusi sebesar 37% terhadap total beban pokok.
Limartha turut melihat potensi ekspansi margin karena biaya bahan bakar yang lebih rendah di kuartal kedua 2023 seiring harga batubara global telah turun hingga di bawah sekitar US$170 per ton. Hal ini berbanding jauh daripada harga batubara INCO yang masih relatif tinggi yaitu US$466 per ton saat kuartal I-2023.
INCO juga memiliki fleksibilitas untuk beralih ke sumber energi yang lebih murah untuk mendapatkan biaya energi yang paling efisien bagi smelter. INCO mengharapkan marjin laba yang lebih tinggi di kuartal kedua 2023 karena batu bara dan High Sulfur Fuel Oil (HSFO) telah melunak.
Selain itu, INCO akan mendapat manfaat dari harga nikel yang stabil US$22.000/ton, yang masih bertahan di level yang lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata pra-pandemi US$15.000/ton.
Limartha menjelaskan, volatilitas harga nikel dan bahan bakar yang tinggi masih menjadi risiko terbesar. Setiap 5% penurunan harga nikel akan menyebabkan penurunan masing-masing 10,1% dan 14,6% pada EBITDA dan laba bersih tahun 2023 dan sebaliknya.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Bayar Dividen US$ 60,12 Juta, Catat Jadwalnya
Sementara, HSFO yang lebih rendah dapat berdampak positif terhadap EBITDA dan laba bersih. Dengan setiap 5% penurunan HSFO, EBITDA 2023 dan laba bersih dapat meningkat sebesar 1,4% dan 2,0% masing-masing dan sebaliknya.
Analis Ciptadana Sekuritas Thomas Radityo dalam risetnya mengungkapkan bahwa kinerja tiga bulan pertama INCO pada tahun ini, tidak terlepas dari biaya bahan bakar yang lebih murah dan pertumbuhan ASP yang kuat.
Laba bersih INCO melesat 3 kali lipat menjadi US$ 98,2 juta pada kuartal I-2023 dari US$ 32,0 juta di kuartal IV-2022. Sementara, pendapatan US$ 363,18 juta yang melonjak 18,8% QoQ, terutama didorong oleh kenaikan ASP nikel sebesar 17,8% menjadi US$ 21.672/ton dan kenaikan sebesar 0,9% dalam volume penjualan nikel menjadi 16.758 mton.
Penurunan biaya bahan bakar menyebabkan penurunan biaya pendapatan dan beban usaha, masing-masing sebesar 9,1% dan 11,4%. Ini mengakibatkan Margin Laba Kotor (GPM) dan Margin Operasi (OPM) Vale Indonesia tumbuh masing-masing sebesar 1930 bps dan 1990 bps menjadi 37,2% dan 35,5%.
“Kami terus menyukai INCO karena kemampuannya memproduksi nikel memastikan pertumbuhan pendapatan yang relatif stabil dari prospek nikel yang solid,” kata Thomas dalam riset 27 April 2023.
Saat ini, INCO sedang bekerja pada pengembangan tiga proyek strategis yaitu, Sorowako high pressured acid leach (HPAL) proyek Bahodopi, Morowali rotary kiln electric furnace (RKEF) proyek dengan Tisco dan Xinhai, dan proyek HPAL Pomalaa dengan Huayou dan Ford.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Bayar Dividen US$ 60,12 Juta, Catat Jadwalnya
Ayu merekomendasikan Speculative Buy pada INCO dengan posisi support dan resistance di level Rp 6.325 per saham – Rp 7.075 per saham. Sementara, Thomas merekomendasikan Buy pada target harga di Rp 8.000 per saham.
Senada, Limartha mempertahankan rekomendasi Buy dengan target harga sebesar Rp 8.000 per saham. Proyeksi harga tersebut sebagaimana harga nikel diperkirakan akan tetap pada level tinggi US$22.000-24.000/ton pada tahun 2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News