kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mencermati Efek Derasnya Dana Asing yang Mengalir ke Pasar Saham Indonesia


Kamis, 03 Maret 2022 / 12:40 WIB
Mencermati Efek Derasnya Dana Asing yang Mengalir ke Pasar Saham Indonesia
ILUSTRASI. Pekerja melintas di depan layar indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (11/2/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana asing mengucur deras ke bursa saham Indonesia di periode awal tahun 2022 ini. Hingga bulan Februari lalu, pembelian bersih (net buy) investor asing mencapai Rp 23,60 triliun secara year to date.

Net buy asing terus mengalir kencang di awal bulan Maret ini. Pada Selasa (1/3), asing mencatat net buy Rp 1,70 triliun di seluruh pasar. Sedangkan aksi net buy asing pada Rabu (2/3) kemarin tercatat sebesar Rp 469,49 miliar.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turut terpompa dengan beberapa kali mencetak rekor all time high. Selasa lalu, perdagangan pada awal Maret dibuka dengan IHSG yang hampir menyundul level 7.000. All time high IHSG kini berada diposisi 6.996,93.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana melihat setidaknya ada tiga faktor yang mendorong derasnya dana asing masuk ke pasar saham Indonesia. Pertama, faktor pemulihan ekonomi Indonesia yang dipandang baik. Hal ini juga beriringan dengan penanganan covid-19 yang menunjukkan perbaikan sejak Q4-2021.

Baca Juga: IHSG Moncer, Reksadana Saham Catat Kinerja Ciamik Sepanjang Februari

Kedua, proyeksi kenaikan suku bunga membuat obligasi dinilai kurang menarik, sehingga saham menjadi primadona. Ketiga, adanya eskalasi geopolitik, terutama konflik Rusia-Ukraina yang membuat harga komoditas melesat tajam. Di saat bursa di banyak negara terimbas negatif, Indonesia dipandang prospektif.

"Hal ini positif untuk mendorong IHSG bisa menembus 7.000. Terutama bila laporan keuangan emiten full year 2021 dan Q1-2022 terus menunjukkan pertumbuhan," ujar Wawan kepada Kontan.co.id, Kamis (3/3).

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menyoroti bahwa derasnya capital inflow yang masuk ke Indonesia utamanya karena tingginya harga komoditas. Hasil komoditas Indonesia yang sebagian besar diekspor menjadi penopang neraca perdagangan dan nilai kurs, sehingga relatif aman dari dampak tapering yang dilakukan The Fed sejak akhir tahun lalu.

"Indonesia sebagai negara penghasil komoditas tentu termasuk salah satu negara yang diuntungkan dari kondisi harga yang tinggi seperti saat ini," ujar Pandhu.

Konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina juga memicu berkurangnya pasokan gas dan minyak. Alhasil, permintaan terhadap barang substitusi seperti batubara dan minyak sawit ikut melesat. Terlebih, dunia juga masih dihantui dengan krisis energi lantaran stok menipis imbas dari minimnya produksi dan belum lancarnya pasokan pasca covid-19.

Baca Juga: Kinerja Reksadana Saham Diramal Akan Kembali Moncer pada Bulan Maret

Pandhu menyebut, situasi kurang kondusif yang terjadi di Eropa dan Amerika berpotensi membuat dana asing mencari tempat yang lebih aman. Nah, kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup aman karena jauh dari konflik tersebut.

"Bisa dilihat dari pergerakan indeks bursa regional Asia Tenggara yang return YTD (year to date)-nya masih positif. Sedangkan Amerika dan Eropa rata-rata sudah turun 6%-9%," terang Pandhu.

Sementara itu, Analis Artha Sekuritas Dennies Christoper Jordan menyampaikan bahwa sentimen positif juga datang dari kinerja keuangan sejumlah emiten sepanjang tahun 2021 yang menunjukkan perbaikan cukup signifikan. Terutama emiten di sektor perbankan yang tergolong big caps, serta emiten komoditas khususnya batubara dan kelapa sawit.

Equity Research Analyst MNC Sekuritas Rifqi Ramadhan melanjutkan bahwa dana asing memang deras mengalir ke sektor perbankan. Sektor ini dinilai masih tetap menarik untuk dicermati oleh investor.

"Selain menjadi proxy, weight dari perbankan terhadap indeks cukup besar. Berbeda dengan Amerika Serikat yang bobotnya besar pada teknologi. Dimana saat kebijakan moneter diperketat akan berdampak pada penurunan saham berbasis teknologi," jelas Rifqi.

Dalam estimasi full year 2022, perusahaan perbankan akan lebih fokus ke penyaluran kredit, yang mana nantinya akan berdampak baik bagi kinerja bottom line. Belum lagi hal yang menyangkut pembagian dividen.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) misalnya, akan mengalokasikan 85% dari perolehan laba bersih konsolidasi tahun 2021 sebagai dividen. Total dividen tunai yang akan diberikan kepada pemegang saham mencapai Rp 26,4 triliun. 

Baca Juga: Saham-Saham Ini Masih Akan Jadi Pemberat IHSG

"Pada umumnya asing akan mencari emiten yang berfundamental solid dan pengelolaan asset bagus. Tujuannya mostly untuk berburu dividen," ujar Rifqi.

Di sisi lain, derasnya dana asing yang masuk pe pasar saham Indonesia tak lepas dari proyeksi terkait nilai dan pertumbuhan bursa. Indeks di bursa Amerika Serikat, misalnya, sudah naik cukup signifikan hampir 30% pada tahun lalu. Sedangkan IHSG baru naik 10%.

"Saat market di Amerika Serikat mengalami overvalued secara valuasi, maka akan terjadi lagging, jadi wajar kalau asing mulai masuk ke Indonesia. Belum lagi Moody memberikan outlook stable," tandas Rifqi.

Risiko Jangka Panjang

Meski begitu, patut dicermati risiko jangka panjang dari meroketnya harga komoditas serta imbas dari konflik Rusia-Ukraina. Dalam jangka pendek, Dennies Christoper juga melihat hal ini bisa mendorong IHSG, terutama untuk sektor energi.

Tapi secara jangka panjang, kondisi tersebut bisa menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan naiknya inflasi secara global. Saat ini pun inflasi di Amerika Serikat berada pada kondisi yang tidak menggembirakan, dan dikabarkan akan segera menaikkan suku bunga.

Jika hal itu terjadi, investor ke depannya berpotensi mengalihkan investasi ke instrumen yang lebih rendah risiko seperti obligasi, deposito atau bahkan emas. "(Saham) perbankan, komoditas, masih cukup oke. Namun perlu diwaspadai karena ke depan ada potensi pengalihan investasi," jelas Dennies.

Wawan menambahkan, hal lain yang patut dicermati adalah harga-harga komoditas yang diimpor oleh Indonesia. Misalnya terkait gandum, yang pada gilirannya dapat menekan kinerja emiten-emiten yang bergantung kepada impor.

Di sisi lain, melonjaknya harga minyak dan CPO juga akan membuat pemerintah melakukan subsidi untuk meredam inflasi. "Dalam jangka panjang kenaikan inflasi dan suku bunga bisa menekan kinerja IHSG," ungkap Wawan.

Sedangkan Pandhu memperkirakan saham-saham big caps masih menjadi porsi terbesar yang bakal diburu oleh asing. Perbankan masih akan menjadi primadona. Selain market cap dan likuiditas besar, kinerja keuangan juga rata-rata masih positif sehingga banyak disukai oleh investor asing.

"Capital inflow ini juga termasuk salah satu indikator yang sering dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk mengetahui apakah tren masih kuat atau tidak. Jika sudah berbalik menjadi capital outflow sebaiknya lebih berhati-hati," pungkas Pandhu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×