Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merancang aturan baru atau Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) terkait Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan. RPOJK ini nantinya akan mengganti Peraturan OJK yang lama POJK No. 1 tahun 2013.
Dalam rancanangan aturan tersebut terdapat sejumlah poin krusial. Sebagai contoh pada Pasal 37 RPOJK yang menerangkan bahwa perusahaan jasa keuangan (PUJK) wajib bertanggungjawab atas kerugian konsumen akibat kelalaian karyawan hingga direksi.
Aturan ini menegaskan lagi bahwa pertanggungjawaban berada perusahaan jasa keuangan jika terjadi kerugian pada konsumen.
Baca Juga: Ini tanggapan aplikasi Pintu terkait pemalsuan surat izin OJK
Selain itu, RPOJK ini memberikan tugas khusus pada OJK dalam ranah perlindungan konsumen pasar finansial. Dalam pasal 44 RPOJK menyatakan, OJK berwenang menjalankan pembelaan hukum guna melindungi konsumen.
Tak terkecuali menggugat ganti rugi hak konsumen kepada perusahaan jasa keuangan ke pengadilan. Sebelumnya pada aturan yang lama, OJK hanya sebatas sebagai fungsi mediasi.
Adapun pada ranah pencegahan dan pengawasan perusahaan jasa keuangan, RPOJK ini juga mewajibkan perusahaan finansial untuk melaksanakan penilaian mandiri terhadap penyusunan dan penerapan kebijakan serta prosedur atas produk yang dijanjikan ke konsumen. Kewajiban ini harus lapor ke OJK satu tahun sekali minimal per 30 September tahun berjalan.
Pakar Keuangan dan Pasar Modal Budi Frensidy menilai, aturan ini kemungkinan dipicu oleh beberapa kasus di pengelola dana publik terutama perusahaan asuransi jiwa.
Budi memandang, dengan adanya aturan ini konsumen pasar keuangan akan memperoleh perlindungan dari kejahatan dan kolusi di korporasi.
"Saya pikir salah satu manfaatnya adalah pegawai hingga direksi perusahaan semakin hati-hati, tetapi kalau perusahaan harus bertanggung jawab untuk kerugian akibat risiko bisnis atau usaha, ini menjadi sangat memberatkan," katanya ketika dihubungi Kontan, Minggu (4/4).
Oleh karena itu, sambung Budi, aturan baru tersebut dapat mengekang ekspansi perusahaan keuangan ke depan
Agar tidak terlalu memberatkan salah satu pihak dan semua pihak mendapatkan perlindungan, Budi bilang seharusnya otoritas lebih memfokuskan kepada kelalaian, kesalahan, kecurangan, dan kesengajaan yang dilakukan pegawai hingga direksi perusahaan yang merugikan konsumen.
"Sehingga harus ada unsur kelalaian atau fraud yang dilakukan pegawai dan direksi perusahaan dan tidak bisa untuk semua kerugian," tambahnya.
Baca Juga: Ini daftar saham yang diperingatkan BEI berpotensi delisting
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat juga menyampaikan hal yang serupa. Ia mengatakan jika ada kelalaian dan kegagalan operasional memang hal ini harus dipertanggungjawabkan.
Yang penting, sambungnya, semangat untuk mengedepankan perlindungan konsumen harus diseimbangkan dengan perlindungan perusahaan jasa keuangannya juga. "Tapi jangan melupakan, lembaga keuangan juga salah satu yang harus mereka lindungi," kata Samsul.
Ia menegaskan semua pihak terkait jasa keuangan, baik nasabah, perusahaan penyedia, investor, dan semua pihak harus seimbang mendapat perlindungan. Pasalnya, kata dia, dalam beberapa kasus juga ada pihak investor yang melakukan kesalahan.
Dengan demikian, Samsul menyarankan agar dalam membuat peraturan harus hati-hati. "Karena penyedia jasa keuangan ini sebagian besar bisa menimbulkan dampak sistemik. Sehingga action yang diambil otoritas harus hati-hati," papar Samsul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News