Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar modal Indonesia masih menjadi salah satu sasaran bagi investor asing menempatkan portofolionya. Ini tercermin dari net buy investor asing di pasar ekuitas dan surat utang.
Berdasarkan data Bloomberg, investor asing mencatatkan net buy sebesar US$ 1,53 miliar dari awal tahun hingga 6 Desember 2024. Pada periode yang sama, net buy asing mencapai US$ 2,94 miliar di pasar obligasi
Di Asia, investor asing tercatat mengendapkan dananya di pasar saham China. Per 30 September 2024, net buy asing di pasar ekuitas dan obligasi China masing-masing mencapai US$ 52,19 miliar dan US$ 82,97 miliar.
Baca Juga: Dana Asing Berpotensi Keluar dari Pasar Modal Indonesia, Ini Penyebabnya
Investor asing turut mencatatkan net buy sebesar US$ 8,77 miliar di pasar saham Jepang hingga 29 November 2024 dan US$ 3,79 miliar di pasar ekuitas Korea Selatan hingga 6 Desember 2024.
Jika dibandingkan dengan bursa Asia lainya, posisi dana asing di pasar modal Indonesia masih di bawah China. Tak heran, pasalnya pasar modal China sedang diguyur oleh stimulus dari pemerintahnya.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan penurunan indeks di pasar China membuat valuasi saham di Negeri Tirai Bambu itu kian murah.
Menurutnya, ketika ada komitmen yang lebih besar dari pemerintah China, itu bisa menjadi katalis positif yang akhirnya mendorong aliran dana investor asing masuk ke China.
Baca Juga: Analis Rekomendasikan Saham Perbankan Saat Asing Keluar dari Pasar Modal Indonesia
Namun bukan berarti tak ada peluang bagi pasar modal Indonesia untuk menanti aliran inflow asing yang lebih deras. Nico menjelaskan secara umum ada beberapa variabel yang menjadi pertimbangan investor asing.
Pertama, rencana kerja pemerintah serta aktualisasi rencananya. Kedua, prospek perekonomian suatu negara dalam hal ini Indonesia. Ketiga, variabel makro ekonomi seperti inflasi, suku bunga hingga nilai tukar.
Prospek Inflow Asing di 2025
Menariknya 2025 akan dibuka dengan 100 hari masa kerja pemerintah baru di bawah komando Presiden Prabowo Subianto. Sedikit banyak, program kerja Presiden Prabowo menjadi sentimen pasar.
Nico menjelaskan program yang dibangun Prabowo fokus pada pembangunan sumber daya manusia, dengan meningkatkan daya saing mulai dari program Makan Bergizi Gratis untuk mewujudkan Indonesia emas.
"Rencana tersebut berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga hal ini menjadi salah satu daya tarik bagi pelaku pasar dan investor khususnya asing untuk tetap berinvestasi di pasar modal Indonesia," katanya kepada Kontan, Minggu (8/12).
Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas mengatakan saat ini pelaku pasar juga sedang menanti realisasi janji politik yang ditebar oleh Prabowo, terutama dalam meningkatkan ekonomi Indonesia.
"Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan tantangan yang luar bisa, di mana pemerintah harus menciptakan mesin pertumbuhan ekonomi baru," tuturnya.
Baca Juga: Investor Pasar Modal Indonesia Tembus 14 Juta SID Per Oktober 2024
VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menambahkan target Prabowo untuk mendorong PDB Indonesia hingga 8% masih akan menjadi daya tarik untuk investor lain.
"Dengan asumsi tercapainya target jangka panjang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 8%, maka IHSG masih memiliki peluang yang jauh lebih tinggi," ucap dia.
Audi bilang stabilitas nilai tukar rupiah, pertumbuhan PDB di atas 5%, terjaganya daya beli masyarakat dan program kebijakan pemerintah yang pro pertumbuhan ekonomi akan menjadi pendorong minat investor asing.
"Jika suku bunga bunga Federal Fund Rate di tahun depan hanya dipangkas 50 bps–75 bps, maka akan mendorong inflow kembali ke IHSG seiring dengan menjadi alternatif return yang lebih besar," ucapnya.
Baca Juga: Investor Pandang Era Prabowo-Gibran Positif untuk Pasar Modal Indonesia
Selain faktor dalam negeri, Audi mencermati ada sentimen lain yang bakal mempengaruhi pertimbangan dana investor asing di 2025, seiring dengan ketidakpastian dari arah kebijakan moneter bank sentral dan tensi geopolitik.
Misalnya Amerika Serikat (AS), lanjut Audi, yang membuat investor cenderung melakukan kalkulasi ulang dengan mempertimbangan skenario yang perkirakan cenderung konservatif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News