Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Era suku bunga tinggi berakhir setelah pemangkasan suku bunga The Fed dan Bank Indonesia (BI). Hal itu diperkirakan dapat mendongkrak kinerja emiten, khususnya sektor perbankan.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji mengatakan, untuk jangka pendek sektor perbankan masih akan bergerak fluktuatif. Sebab terdapat sentimen yang mempengaruhi gerak pasar.
Pertama, pasar menantikan pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih. Kedua, rilis data produk domestik bruto (PDB) Indonesia kuartal III yang diperkirakan tidak setinggi pada kuartal II.
Selain itu, pasar juga menantikan langkah the Fed selanjutnya mengenai pemangkasan suku bunga lanjutan. Kemudian, tensi geopolitik yang masih akan mempengaruhi pergerakan pasar.
"Jadi untuk jangka pendek masih akan berfluktuasi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (27/9).
Baca Juga: The Fed dan Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga, Begini Rekomendasi Saham Perbankan
Sementara untuk jangka panjang, pemangkasan suku bunga ini menjadi angin segar bagi sektor perbankan. Sebab berpotensi meningkatkan kinerja kredit emiten perbankan, yang mana pada Agustus lalu belum memenuhi ekspektasi pasar.
Nafan menyebut, pemangkasan suku bunga berpotensi mengurangi biaya dana (cost of fund/CoF) perbankan. "Tentunya ini bagus untuk memperkuat likuiditas perbankan untuk ekspansi kredit ke depan," kata Nafan.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano sepakat efek pemangkasan suku bunga tidak akan berlangsung instan. Ia memperkirakan perbaikan likuiditas yang akan mengurangi tekanan CoF perbankan baru akan terjadi paling cepat di kuartal I 2025.
Dari sejumlah emiten bank dalam cakupannya, Victor menilai, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) akan mendapatkan keuntungan yang paling besar seiring dengan pemangkasan suku bunga.
Sebab, BBNI merupakan bank yang paling terdampak saat kenaikan suku bunga, tercermin dengan penurunan net interest margin (NIM) sebesar 80 basis poin (bps) secara tahunan (Year on Year/YoY) pada Juli 2024.
"Namun, kami melihat beberapa risiko dalam argumen ini karena BBNI memiliki porsi pinjaman dengan suku bunga tetap yang paling sedikit dan pelonggaran tekanan CoF mungkin hanya akan berdampak signifikan pada kuartal I 2025," terangnya.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) akan menjadi yang paling sedikit diuntungkan karena NIM-nya yang tahan banting.
Berdasarkan analisisnya, semua bank kecuali BBCA mengalami transmisi kenaikan suku bunga yang lebih tinggi pada CoF mereka pada kenaikan suku bunga sebelumnya dibandingkan dengan rata-rata historisnya. Victor menyakini hal itu sebagian dipengaruhi penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang mempercepat penyerapan likuiditas.
"Oleh karena itu kami memperkirakan tekanan pada CoF akan berkurang lebih cepat dengan berkurangnya penerbitan SRBI," sebutnya.
Di sisi lain, transmisi imbal hasil kredit yang lebih rendah akan berlanjut. Sebab pada kenaikan suku bunga terakhir, perbankan menerapkan pendekatan yang lebih hati-hati. Sehingga, perbankan mengejar nasabah yang berkualitas lebih tinggi, yang biasanya memiliki imbal hasil yang lebih rendah.
"Karenanya, hal itu juga menguntungkan bank-bank yang memiliki porsi kredit dengan suku bunga tetap yang lebih tinggi," ujar Victor.
Secara keseluruhan, Victor mempertahankan rating overweight untuk sektor perbankan. Adapun BBCA menjadi pilihan utamanya dan menyematkan rating buy dengan target harga yang ditingkatkan menjadi Rp 12.400 dari sebelumnya Rp 11.300.
Baca Juga: Dipimpin Saham Perbankan, Cermati Saham Big Caps yang Dijual Asing pada Akhir Pekan
Sementara itu, analis JP Morgan, Harsh Wardhan Modi mempertahankan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebagai pilihan utamanya. Ini menyusul momentum laba per saham (earning per shares/EPS) BMRI yang positif.
"Kami memperkirakan pertumbuhan EPS sekitar 17% pada 2025 dan 2026 setelah EPS yang datar tahun ini," sebutnya.
Disebutkan pula, pertumbuhan kredit BMRI yang tinggi didukung pertumbuhan dana murah (CASA) yang serupa. Hal ini dikarenakan BMRI terus membangun berbagai penawaran produk pada platform teknologi terbaik di kelasnya di seluruh konsumen, pedagang, dan perusahaan.
JP Morgan pun mempertahankan rating overweight untuk saham BMRI dengan target harga yang ditingkatkan menjadi Rp 8.000.
Sementara itu, Harsh mengkhawatirkan NIM dan pertumbuhan kredit BBNI karena imbal hasil aset tetap berada di bawah tekanan. Pergeseran ke arah kredit berkualitas lebih tinggi secara konsisten membebani spread kredit, lebih-lebih karena bank-bank yang ada saat ini sedang berusaha keras untuk mempertahankan pangsa pasar.
Meski begitu, Harsh menurunkan rating BBNI menjadi neutral dari overweight dengan target harga Rp 5.400.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News