Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meredanya persebaran virus corona sekaligus mulai longgarnya dibukanya lockdown di beberapa negara diyakini bakal mengembalikan permintaan batubara ke depan.
Mengutip Bloomberg, pergerakan harga batubara di ICE Futures sepanjang 2020 tercatat koreksi sebanyak 24,6% ke level US$ 52,90 per ton pada perdagangan Senin (11/5). Padahal, akhir tahun lalu harga batubara masih bertengger di level US$ 70,15 per ton.
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, penurunan harga batubara sebagian besar dikarenakan kondisi ekonomi China yang lesu akibat serangan virus Korona atau Covid-19. Apalagi, konsumen batubara terbanyak datang dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Baca Juga: Target merosot, Kementerian ESDM cermati dampak corona terhadap setoran PNBP minerba
Di samping itu, ekonomi 2020 di awal tahun berisiko mengalami resesi global dan berdampak pada permintaan batubara sepanjang 2020. Alhasil bukan hanya batubara yang harganya melorot, komoditas lain juga ikut terdampak.
"Untuk semua komoditas, 2020 jadi tahun yang buruk bagi mereka, kecuali emas. Bahkan kondisi 2021 belum menjanjikan, dengan potensi konsolidasi yang lebih rendah," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (11/5).
Meskipun begitu, sejauh ini Wahyu menilai pergerakan harga batubara masih cukup baik, apalagi jika dibandingkan dengan pergerakan harga minyak atau gas alam yang sudah merosot dalam. Dengan kondisi saat ini, Wahyu menilai harga batubara seharusnya bisa berada di bawah US$ 40 per ton.
Baca Juga: Disetujui mayoritas fraksi, revisi UU Minerba siap dibawa ke rapat paripurna
Pergerakan harga batubara dinilai jauh lebih simple, ditambah lagi komoditas tersebut tidak memiliki masalah dengan kontrak, penyimpanan bahkan faktor pengiriman. Harga batubara yang masih berada di kisaran US$ 50 per ton dengan storage yang lebih mudah dan China mampu melakukan kendali saat terjadi oversupply.
"Bagaimanapun, China jadi konsumen utama batubara di dunia, sehingga batubara masih lebih baik daripada harga minyak yang terpengaruh konflik kepentingan Saudi dan Amerka Serikat (AS)," ungkapnya.
Ke depan, prospek harga batubara masih cukup menarik khususnya bagi China. Sehingga, dengan fundamental harga komoditas energi yang cenderung lesu akibat resesi global, prospek batubara masih lebih baik dengan didominasi kendali Negeri Tirai Bambu.
Baca Juga: Disetujui mayoritas fraksi, revisi UU Minerba siap dibawa ke rapat paripurna
Selain itu Wahyu menjelaskan bahwa pergerakan harga batubara tidak bisa bergerak terlalu rendah, ataupun terlalu tinggi. Jika terlalu tinggi, maka bisa mengancam nasib konsumen listrik, sedangkan jika terlalu rendah bakal mengancam nasib produsen, perusahaan pertambangan, hingga sektor keuangan terkait support capital.
"Kondisi sekarang sedang membaik di dukung harapan dibukanya lockdown mayoritas negara, sehingga sentimennya bisa membaik. Jadi batubara akan lebih mudah bertahan dan berpotensi menguat," ujarnya.
Untuk itu, Wahyu merekomendasikan buy on weakness selama harga bergerak di kisaran atau di bawah US$ 50 per ton. Prediksinya untuk jangka menengah harga akan berada di kisaran US$ 50 per ton hingga US$ 70 per ton, sedangkan untuk jangka panjang harga berpotensi bergerak di kisaran US$ 40 per ton hingga US$ 120 per ton.
Baca Juga: Bisnis tambang terdampak corona, IMA dan APBI akan ajukan insentif royalti dan pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News