Reporter: Yuliana Hema | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Euforia peluncuran Bursa Karbon Indonesia sepertinya mulai surut. Baru dua hari diresmikan transaksi IDXCarbon sudah nihil alias Rp 0.
Harga unit karbon di pasar reguler tak berubah. Hingga akhir perdagangan Rabu (27/9), harga unit karbon IDTBS bertahan di level Rp 77.000 per tCO2.
Padahal pada perdagangan perdana, Selasa (26/7), nilai transaksi bursa karbon mencapai Rp 29,20 miliar dengan total volume sebesar 459.953 tCO2.
Sejak awal PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku penyelenggara Bursa Karbon Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah was-was akan likuiditas bursa karbon.
Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon menuturkan dari segi likuiditas bursa karbon akan berbeda dari pasar saham atau ekuitas.
"Karena bursa karbon bukan untuk spekulasi atau jual dan beli sesaat. Ini yang harus dibedakan, tolong jangan di benchmark dengan ekuitas," kata Inarno.
Baca Juga: Hari Kedua Bursa Karbon Meluncur, Transaksi Rp 0
Untuk meningkatkan likuiditas bursa karbon, BEI akan gencar melakukan sosialisasi atas peraturan dan produk yang ditawarkan agar mendorong pelaku industri.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman menyampaikan pihaknya akan terus melakukan sosialisasi pada emiten khususnya perusahaan penghasil CO2.
Karena itu, BEI enggan memasang target volume transaksi sampai tutup tahun ini. Iman bilang transaksi bursa karbon sangat bergantung dari penawaran dan permintaan.
"Misalnya banyak perusahaan batubara yang masih mengkaji batasan emisi mereka. Mungkin mereka masih menunggu jatah tahun depan," jelas Iman.
Peluang dari Emiten EBT
Sementara, Grup Astra mulai menunjukkan minatnya dalam bertransaksi di pasar karbon. Pada hari perdana, anak usaha usaha PT United Tractors Tbk (UNTR) telah menjadi pembeli pertama.
UNTR terlibat di bursa karbon melalui anak usahanya, yakni PT Pamapersada Nusantara. Eksistensi UNTR di bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT) juga ada di PT Arkora Hydro Tbk (AKRO).
Sekretaris Perusahaan United Tractors Sara K. Loebis mengatakan, tujuan lini bisnis pembangkit EBT utamanya untuk mendukung rencana pemerintah dalam menyedia energi alternatif.
"Mengenai apakah pembangkit EBT berpotensi untuk turut dalam bursa karbon, perlu dipelajari dahulu persyaratan yang harus dipenuhi," kata Sara kepada Kontan, Kamis (27/9).
Emiten EBT lainnya, PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN) juga mulai mempertimbangan untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon kredit.
Direktur Utama Kencana Energi Lestari Wilson Maknawi menyampaikan KEEN sangat serius mempertimbangan karbon kredit sebagai green attribute of choice pada 2024 dan seterusnya.
"Untuk 2023 kami sudah menerbitkan Renewable Energy Credit sebagai green attribute, tapi tentunya kami dapat dan akan shift ke karbon kredit," jelas dia.
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) menjadi salah satu emiten ramah lingkungan yang telah berpartisipasi di bursa karbon.
Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy Nelwin Aldriansyah mengatakan partisipasi PGEO di bursa karbon melalui PT Pertamina Power Indonesia (PPI)
Dia menjelaskan karbon kredit yang dihasilkan oleh PGEO akan diambil alih oleh PPI alias Pertamina & Renewable Energy (Pertamina NRE).
Adapun Pertamina NRE mendaftarkan Proyek Lahendong milik Pertamina Energi Geothermal Unit 5 dan Uni 6 di harga Rp 69.600 dan Rp 70.000.
Dalam pipeline PT PJB UP Muara Karang akan siap meramaikan pasar bursa karbon. Entitas usaha PLN ini telah menggenggam SPE-GRK dengan potensi karbon 927.113 tCO2.
Baca Juga: Apindo Ungkap Potensi Bisnis Perdagangan Karbon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News