Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kupon obligasi korporasi diproyeksi tetap menarik di tahun 2025. Persaingan mencari dana yang ketat di pasar surat utang bakal membuat kupon tetap tinggi.
Kepala Divisi Riset PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto memperkirakan, persaingan likuiditas antara surat utang pemerintah dan surat utang korporasi bakal ketat di tahun depan. Hal itu seiring dengan penerbitan surat utang pemerintah yang diproyeksi bakal bernilai jumbo.
Darto menjelaskan, urgensi pemerintah dalam menerbitkan surat utang di tahun depan karena antisipasi defisit anggaran dari program-program pemerintahan baru. Selain itu, penerbitan surat utang perlu untuk kebutuhan refinancing surat utang jatuh tempo.
Sebelumnya, pemerintah masif menerbitkan surat utang jangka menengah bertenor 5 tahun pada tahun 2020 lalu guna kebutuhan anggaran penanganan covid-19. Dan hampir semua surat utang yang diterbitkan pada masa Covid-19 itu bakal jatuh tempo 2025 yang ditaksir berjumlah sekitar Rp 700 triliun – Rp 800 triliun.
Baca Juga: Suku Bunga Masih Tinggi, Pefindo Revisi Nilai Penerbitan Obligasi Korporasi Tahun Ini
Di sisi lain, pemerintah kemungkinan bakal menerbitkan surat utang untuk antisipasi adanya defisit anggaran karena kebutuhan kebijakan pemerintah baru yang besar sekitar Rp 600 triliun. Sehingga, tahun depan diproyeksi bakal ada penerbitan surat utang pemerintah sekitar Rp 1.400 triliun.
"Dengan tingginya penerbitan surat utang pemerintah ini, maka akan menciptakan persaingan dana antara pemerintah dan korporasi bakal tetap ketat," ungkap Darto dalam konferensi pers Pefindo, Kamis (24/10).
Darto menyoroti bahwa persaingan yang ketat membuat korporasi telah menahan penerbitan surat utang di sepanjang tahun 2024. Hal itu salah satunya dipengaruhi kehadiran instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia (BI) memang cukup agresif menerbitkan SRBI untuk menstabilkan rupiah di sepanjang tahun ini. Hingga 14 Oktober 2024, Bank Indonesia mengungkapkan, penerbitan SRBI mencapai Rp934,87 triliun.
"Secara tidak langsung, investor lebih prefer SRBI karena mengingat sifatnya risk free, dan suku bunga atau kupon masih lebih tinggi daripada SUN. Sehingga, banyak penerbitan obligasi yang dilakukan downsizing terlebih dahulu dan mengakibatkan jumlah penerbitan tidak sesuai proyeksi," jelas Darto.
Baca Juga: Imbal Hasil Menarik, Dana Perbankan yang Parkir di SBN Melonjak
Oleh karena itu pula, Pefindo memperkirakan kupon obligasi yang ditawarkan juga masih cukup tinggi di tahun 2025. Meskipun tren pasar sudah diliputi dengan kondisi pelonggaran moneter.
Menurut Darto, kupon obligasi korporasi di tahun depan tidak akan jauh berbeda dengan posisi saat ini di di bawah level 7%. Hal itu sejalan dengan pergerakan yield SUN 10 tahun yang sudah bergerak di bawah 7%.
Hanya saja, nilai penerbitan obligasi korporasi di tahun depan masih sulit diprediksi sejauh ini. Namun diperkirakan angkanya tidak akan jauh berbeda dengan tahun 2024.
Darto berujar, dari sisi jatuh tempo, kemungkinan nilai jatuh tempo di tahun depan akan sekitar Rp 155 triliun, sedikit lebih tinggi daripada nilai jatuh tempo surat utang korporasi tahun ini yang berkisar Rp 150 triliun. Penerbitan obligasi korporasi di tahun depan bakal didukung lingkungan suku bunga rendah.
"Bank Indonesia sendiri masih akan pangkas suku bunga ikuti The Fed, walaupun tidak akan agresif seperti Fed," imbuh Darto.
Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Amir Dalimunthe mengatakan, persaingan likuiditas memang cukup ketat tahun ini sejalan dengan adanya instrumen SRBI. Hal itu merupakan upaya dari bank sentral untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Secara umum, investor tertarik dengan imbal hasil atau yield yang ditawarkan SRBI yang relatif tinggi tahun ini di atas 7%. Sedangkan yield obligasi pemerintah ataupun obligasi korporasi masih sekitar di bawah 7%.
Namun, tahun depan diperkirakan aliran dana investor tidak akan hanya terkonsentrasi pada instrumen SRBI, tetapi juga menyasar ke Surat Berharga Negara (SBN) ataupun surat utang korporasi. Asumsi tersebut seiring nilai tukar rupiah sudah cukup stabil, dan BI juga sudah mengurangi frekuensi lelang SRBI.
Baca Juga: Kembali Pertahankan Lanjutkan Penguatan, Ini 5 Reksadana Saham dalam Sepekan
"Seiring dengan pemangkasan suku bunga ke depan, BI bisa mulai menurunkan yield SRBI. Dan kalau yield SRBI sudah setara atau di bawah government bonds (obligasi pemerintah), rasanya investor akan lebih tertarik ke goverment bonds," ucap Amir dalam Media Day BNI Sekuritas, Selasa (23/10).
Amir menyebutkan, potensi peralihan dana dari instrumen SRBI ke SBN utamanya karena faktor durasi. Hal itu karena SBN tersedia dalam durasi yang lebih panjang, sehingga ketika yield bergerak turun, maka bisa dapatkan capital gain lebih besar.
"Mereka (para investor) tidak bisa di instrumen terlalu pendek seperti SRBI untuk dapatkan capital gain. Jadi mungkin untuk bisa dapatkan return yang sama, yield harus turun lebih jauh," tutur Amir.
BNI Sekuritas memproyeksi kinerja pasar obligasi domestik yang tercermin dari Indonesia Composite Bond Index (ICBI) akan mencetak return sekitar 6,6% di tahun 2024. Optimisme ini berdasarkan adanya asumsi yield SUN 10 Tahun bakal turun ke level 6,4%, tidak jauh berbeda daripada level tahun lalu sebesar 6,5%.
Di tahun 2025, kemungkinan return dari indeks pasar obligasi (ICBI) bakal lebih besar lagi menjadi 8,8%. Hal itu mengingat potensi pemangkasan suku bunga acuan yang bisa membawa yield obligasi turun (menguat) ke level 6,0%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News