Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Surat utang global atau global bond makin marak meluncur saat likuiditas pasar global meningkat. Terbaru, Selasa (16/6), pemerintah kembali menerbitkan sukuk global di pasar internasional dengan denominasi dolar Amerika Serikat (AS) dalam format 144A/Reg S Trust Certificat sebesar US$ 2,5 miliar.
Hasil peluncuran sukuk global itu pun sukses mendapat order book sebesar US$ 16,66 miliar atau sebesar 6,7 kali di atas target awal. Tidak hanya pemerintah, para perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga kompak memilih global bond untuk mendapatkan pendanaan. Belum lama ini, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) juga sukses menerbitkan global bond senilai US$ 2,5 miliar dan mendapat order book 6,4 kali.
Baca Juga: Pemangkasan suku bunga BI dinilai belum mampu dorong penguatan IHSG
Analis Fixed Income MNC Sekuritas Made Adi Saputra menilai saat ini memang waktu yang tepat bagi pemerintah maupun para BUMN untuk menjaring dana dari obligasi global. Penerbitan global bond belakangan selalu sukses diburu investor karena pasar global sedang kebanjiran stimulus yang digelontorkan para bank sentral dalam rangka menangani dampak negatif pandemi Covid-19 ke ekonomi.
Namun, Made mengamati stimulus yang digelontorkan saat ini belum banyak dinikmati sektor riil. Sementara, likuiditas terlanjur banjir dan akhirnya mengalir terlebih dahulu ke pasar keuangan. "Lihat saja, indeks saham global juga cenderung naik, kondisi ini akhirnya juga dimanfaatkan pemerintah untuk terbitkan global bond," kata Made, Kamis (18/6).
Faktor likuiditas global yang lebih besar dibanding likuiditas domestik juga menjadi pertimbangan pemerintah jadi gencar menerbitkann global bond. Made melihat saat ini kondisi likuiditas domestik cukup ketat. Perbankan yang selama ini jadi yang paling besar dalam menyerap obligasi domestik kini likuiditasnya sedang tidak fleksibel.
Baca Juga: Himpun likuiditas, bank pelat merah berburu dana anorganik
Made menjelaskan perbankan tidak lagi bisa secara optimal merebutkan dana pihak ketiga karena mereka kredit yang diproyeksikan menurun. Apalagi imbas pandemi, baik individu maupun korporasi juga berpotensi menarik tabungan dari perbankan.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana menambahkan, national saving Indonesia memang terbatas sehingga memang harus ditambal dengan global bond yang memanfaatkan likuiditas global. Fikri menambahkan, kesuksesan penerbitan obligasi global juga didukung oleh tingkat inflasi domestik yang masih terjaga di sekitar 2%.
Di sisi lain, dana asing yang masuk ke lelang SBN belum tumbuh signifikan. Made melihat kepemilikan asing di SBN belum tumbuh karena investor asing masih khawatir. "Penguatan rupiah belakangan ini cenderung didorong pelemahan dolar AS sementara dari domestik belum ada perbaikan ekonomi yang signifikan," kata Made.
Baca Juga: Target pertumbuhan ekonomi direvisi, begini rincian asumsi ekonomi makro tahun 2020
Bahkan, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua dan ketiga juga diproyeksikan akan menurun, sehingga investor asing masih cenderung menahan diri. Alhasil, investor asing kini cenderung memburu global bond Indonesia karena memiliki risiko yang lebih rendah dari dari sisi volatilitas nilai tukar.
Made mengatakan kesuksesan penerbitan global bond akan berdampak positif pada pasar SBN. Implikasinya obligasi global bisa membuat cadangan devisa naik dan menjadi benteng yang menjaga kestabilan rupiah. Dengan nilai tukar bergerak stabil maka investor asing lambat laun akan tertarik masuk ke pasar SBN.
Dengan begitu, global bond kini menjadi alternatif untuk mengembangkan pasar obligasi Indonesia. Fikri juga memproyeksikan tren penerbitan global bond masih akan terjadi hingga tiga tahun ke depan seiring dengan kebijakan penggelontoran stimulus bank sentral global sebagai upaya untuk menumbuhkan ekonomi setelah pandemi.
Baca Juga: BI pangkas bunga acuan jadi 4,25%, ekonom Danamon: Masih ada ruang penurunan 0,25%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News