kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Larangan ekspor nikel berpeluang mengangkat kinerja emiten logam


Senin, 04 November 2019 / 20:28 WIB
Larangan ekspor nikel berpeluang mengangkat kinerja emiten logam
ILUSTRASI. Peleburan nikel di smelter milik Aneka Tambang, 30 Maret 2011. Kinerja emiten logam masih tertekan hingga kuartal III 2019.


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten logam masih tertekan hingga kuartal III 2019. Hal ini terlihat dari kinerja keuangan beberapa emiten.

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) misalnya, mencatat laba bersih Rp 561,19 miliar pada kuartal ketiga 2019 atau turun 11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 631,13 miliar. Meski demikian, penjualan ANTM masih positif atau naik 29,87% menjadi Rp 20,8 triliun.

Begitu pula dengan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang laba bersihnya anjlok menjadi US$ 160.000. Padahal pada kuartal III 2018 INCO mengantongi laba sebesar US$ 55,21 juta. Pendapatan INCO juga turun menjadi US$ 506,46 juta dari sebelumnya US$ 579,6 juta

Nasib lebih parah dialami oleh PT Timah Tbk (TINS). Emiten produsen timah ini harus menanggung rugi Rp 175,78 miliar pada kuartal III 2019. Padahal, pada kuartal III 2018 TINS masih mampu membukukan laba sebesar Rp 407,86 miliar.

Meski demikian, pendapatan TINS tercatat naik menjadi 14,59 triliun atau melesat 114,56% dari periode tahun sebelumnya sebesar Rp 6,8 triliun.

Baca Juga: Tembus level psikologis, harga emas masih berpeluang menguat

Hal berbeda justru dialami oleh PT Central Omega Resources Tbk (DKFT). Per September 2019, DKFT berhasil membukukan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 14,64 miliar dari yang sebelumnya rugi sebesar Rp 49,47 miliar.

Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai, emiten logam memiliki potensi untuk mencatat kenaikan kinerja pada tahun depan. Sebab, larangan ekspor bijih nikel yang akan dimulai pada awal Januari 2020 ini berpotensi menaikkan harga nikel global.

“Para pemain nikel serta pemerintah telah melakukan antisipasi dengan membangun smelter, sehingga produk yang sudah tidak bisa diekspor tersebut dapat diserap secara domestik ke smelter-smelter yang telah dibangun,” ujar Dessy kepada Kontan.co.id, Senin (4/11).

Baca Juga: ESDM pastikan rekomendasi kuota ekspor bijih nikel disetop, tapi sifatnya sementara

Lebih lanjut, kebijakan ini akan banyak berpengaruh kepada Vale Indonesia. Sebab menurut Dessy, kadar nikel yang diproduksi oleh INCO juga berbeda dibandingkan dengan emiten lain.

Selain itu, divestasi 20% saham INCO kepada pemerintah yang sekarang sedang dalam tahap valuasi juga berpotensi berdampak positif terhadap harga saham INCO.

Dessy bilang, pada awalnya Samuel Sekuritas Indonesia melihat adanya potensi kehilangan pendapatan yang akan dialami ANTM dari segmen nikel ore sekitar Rp 2,5 triliun pada kuartal III 2019. Namun, sehubungan dengan smelter yang sudah siap dan pertumbuhan pendapatan dari feronikel, dia melihat hal tersebut tidak akan berdampak negatif secara jangka panjang terhadap kinerja ANTM.

Untuk diketahui, sampai dengan Juni 2019 realisasi konstruksi pabrik feronikel Halmahera Timur milik ANTM telah mencapai 97%. Ditargetkan konstruksi pabrik feronikel Halmahera Timur akan memasuki fase commisioning pada 2020. 

Dessy merekomendasikan saham ANTM dengan target harga 1.250 per saham. Hari ini, harga saham ANTM ditutup turun 1,75% ke Rp 840 per saham.

Baca Juga: Larangan ekspor bijih nikel dipercepat, begini tanggapan produsen nikel

Perihal TINS yang mencatatkan kerugian pada kuartal III 2019, Dessy mengatakan hal ini akibat naiknya beban operasional TINS. Di sisi lain, ikhtiar pengurangan ekspor timah setiap bulan yang dilakukan oleh TINS diperkirakan malah akan berdampak negatif bagi kinerja TINS. Sebab, Dessy menilai kenaikan harga timah global tidak akan sekuat yang diharapkan.

Asal tahu, saat ini TINS sedang mengurangi ekspor timah sebanyak 2.000 ton – 2.500 ton per bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menaikkan harga timah dunia yang diklaim kurang menguntungkan bagi produsen timah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×