Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
Sementara itu, analis Central Capital Futures Wahyu Laksono menyebut, secara fundamental gas alam punya potensi untuk membaik. Faktor pendukungnya adalah ancaman over kapasitas yang mulai melemah serta antisipasi musim dingin yang terjadi di akhir tahun.
"Seperti tahun-tahun sebelumnya, mulai Oktober, permintaan gas alam akan meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk pemanas selama musim dingin. Namun, tren gas alam cenderung lemah meskipun harapan rebound masih terbuka hingga akhir tahun nanti. Hal ini disebabkan, setiap gas alam mulai mengalami overbrought, akan diiringi dengan ancaman bearish," jelas dia.
Oleh sebab itu, Wahyu memprediksi harga gas alam akan berada di rentang US$ 1,50 - US$ 2,30 per mmbtu. Namun, dia menilai, level US$ 2 per mmbtu menjadi gravitational area untuk gas alam.
Baca Juga: Masih dibayangi katalis negatif, tren harga batubara belum akan membaik
Di sisi lain, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menyebut, kenaikan harga gas alam tersebut akan menjadi katalis positif bagi batubara. Hanya saja, kenaikan harga batubara tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, sejauh ini fundamental batubara belum diselimuti sentimen positif.
Dia menambahkan, dengan pandemi virus corona yang masih membayangi, periode musim hujan di beberapa negara belum akan memulihkan permintaan batubara dalam waktu dekat. Ketegangan antara China dan Australia juga disebut masih akan memberatkan laju harga si hitam.
"Berbeda dengan komoditas lainnya yang tengah naik seiring optimisme pemulihan ekonomi, batubara tidak mengalami kondisi serupa. Pasalnya, masing-masing negara akhirnya memfokuskan produksi dalam negeri imbas dari keterbatasan ekspor-impor, sehingga harganya pun belum akan membaik," jelas Ibrahim.
Dengan kondisi tersebut, Ibrahim memproyeksikan harga batu bara hanya akan berada di level US$ 60an per ton pada akhir tahun nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News