kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Laba Menggunung, Saham Konglomerasi Mana yang Menarik Dilirik?


Minggu, 04 September 2022 / 15:40 WIB
Laba Menggunung, Saham Konglomerasi Mana yang Menarik Dilirik?
ILUSTRASI. Kinerja sejumlah emiten grup konglomerasi meningkat pesat sepanjang semester pertama 2022.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah emiten grup konglomerasi meningkat pesat sepanjang semester pertama 2022. Lonjakan harga komoditas di tengah meredanya pandemi covid-19 menjadi pendorong laju bisnisnya.

Grup konglomerat di sektor komoditas-energi unjuk gigi dengan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang signifikan. Contohnya, tengok saja kinerja keuangan dan saham emiten batubara Grup Bakrie.

Laba bersih produsen batubara terbesar di Indonesia, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), pada paruh pertama 2022 meroket 8.771% ke angka US$ 167,67 juta. Saham BUMI pun membara, lepas dari level gocap, melejit 165,67% secara year to date (YTD) ke harga Rp 178.

Di bidang minyak dan gas (migas), Grup Bakrie meraup cuan lewat PT Energi Mega persada Tbk (ENRG) yang laba bersihnya melesat 101,10% menjadi US$ 25,83 juta. Secara YTD, saham ENRG melonjak 158,82% ke level Rp 264.

Baca Juga: Emiten Tambang Batubara Memacu Target Produksi di Sisa Tahun Ini

Taipan selanjutnya ada Garibaldi "Boy" Thohir. Sepanjang semester pertama 2022, emiten batubara Boy, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) membukukan laba bersih sebesar US$ 1,21 miliar, melompat 613% secara tahunan.

Boy Thohir juga mendulang cuan dari PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR). Laba bersih ADMR melesat 490% ke angka US$ 202 juta. Baru melantai (IPO) pada 3 Januari 2022, saham ADMR meroket 1.540% dari harga awal Rp 100 ke level Rp 1.640 per Jumat (2/9).

Grup bisnis Astra ikut menadah berkah dari membaranya harga batubara dan pulihnya industri pasca pandemi. Laba bersih PT United Tractors Tbk (UNTR) naik 129% menjadi Rp 10,4 triliun. Sedangkan PT Astra International Tbk (ASII) meraih laba bersih Rp 18,17 triliun, melesat 105,77%.

Baca Juga: Harga Jual Emiten Batubara Kompak Naik di Semester Pertama 2022

Konglomerasi bisnis Grup Sinarmas juga punya kinerja yang cemerlang. Dari bisnis pertambangan, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) mengeruk laba bersih US$ 251,58 juta, melesat 472,78% secara tahunan.

Di bisnis properti kawasan industri, PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) mengemas laba bersih Rp 660,04 miliar, melesat 128,72%. Grup Sinarmas juga sedang rajin menggelar aksi korporasi memperkuat ekspansi di ekosistem telekomunikasi - digital.

Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana membeberkan, konglomerasi yang punya emiten batubara di dalam grup bisnisnya telah diuntungkan dengan harga batubara yang sudah meroket hingga empat kali lipat. Permintaan batubara pun masih tetap tinggi, apalagi menjelang musim dingin di akhir tahun.

''Batubara ini masih riding the wave, tidak akan cepat turun. Harga masih di level tinggi, batubara juga berdasarkan kontrak, jadi sampai akhir tahun bahkan tahun depan kinerjanya akan baik," terang Wawan kepada Kontan.co.id, Minggu (4/9).

Baca Juga: Kenaikan Harga BBM Memperberat Gerak IHSG pada Senin (5/9)

Di samping komoditas, Wawan juga melihat solidnya kinerja bisnis dari emiten yang sejalan dengan pemulihan ekonomi dan konsumsi masyarakat pasca pandemi. Seperti pada emiten consumer, keuangan, dan telekomunikasi.

Wawan pun menyoroti kinerja duo Indofood dari Grup Salim, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang masih tumbuh dari sisi penjualan. Terpangkasnya laba bersih lebih karena lonjakan harga bahan baku gandum dan faktor kurs.

Meski begitu, dengan lini bisnis yang terdiversifikasi, kinerja Grup Salim tetap kuat ditopang oleh emiten lainnya seperti PT Indoritel Makmur International Tbk (DNET) dan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS).

Baca Juga: Simak Strategi Emiten Mengantisipasi Rugi Kurs di Tengah Fluktuasi Rupiah

Selanjutnya, Wawan melihat Grup Djarum sebagai konglomerasi yang punya kinerja positif meski lini bisnis utamanya tidak berbasis komoditas-energi. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) menjadi penyokongnya.

Di sektor keuangan, taipan Chairul Tanjung (CT Corp) lewat PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) juga meraup cuan yang signifikan. Sementara itu, konglomerasi Hary Tanoesoedibjo (MNC Group) juga aktif mengejar pertumbuhan dengan sederet ekspansi dan aksi korporasinya.

"Jadi investor juga sekarang menyukai growth. Misalnya dari sektor keuangan, apalagi kalau punya ekosistem, masuk ke bank digital dan fintech. Ada prospek ke depan dari bonus demografi dimana literasi keuangan anak muda yang lebih baik," jelas Wawan.

Baca Juga: Cetak Kinerja Moncer, Intip Rekomendasi Saham Emiten Pengelola Jalan Tol

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo juga berpandangan, emiten dengan bisnis berbasis ekspor akan diuntungkan sepanjang tahun ini. Hanya saja, dari sektor komoditas, kelapa sawit (CPO) kinerjanya cenderung melambat seiring dengan merosotnya harga CPO.

Selain batubara, Praska menjagokan grup konglomerasi dengan bisnis otomotif dan telekomunikasi yang akan bisa melanjutkan pertumbuhan sampai tutup tahun nanti. Meski, Praska punya catatan.

Kondisi makro ekonomi termasuk lonjakan inflasi setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) perlu diwaspadai. Sektor-sektor yang sensitif dengan kenaikan suku bunga seperti properti juga disarankan untuk wait and see terlebih dulu.

Baca Juga: Bangun Dari Tidur Panjang, Saham Gocap Ini Mulai Bangkit

Sedangkan Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana menyoroti portofolio bisnis yang terdiversifikasi menjadi faktor krusial dalam pertumbuhan kinerja di tengah momentum pasca pandemi. Terlebih dengan adanya ketidakpastian makro ekonomi global yang melanda saat ini.

Raditya pun memandang duo Indofood dari Grup Salim masih menarik dilirik. Meski terjadi lonjakan inflasi yang dapat menurunkan daya beli, tapi produk ICBP dan INDF ditaksir masih tetap diminati masyarakat.

"Dalam kondisi saat ini, diversifikasi sangat diperlakukan. Lalu untuk ICBP dan INDF, tidak akan kekurangan demand yang signifikan walaupun potensi lonjakan inflasi akan melanda," ujar Raditya.

Selain itu, kawasan industri pun dinilai punya prospek menarik. Raditya merekomendasikan DMAS untuk dikoleksi dengan target harga di Rp 200. Sedangkan target harga INDF ada di area Rp 6.800.

Baca Juga: BUMI Berhasil Raih Untung Besar, Apakah Sahamnya Layak Beli?

Senada, Praska juga menetapkan area Rp 6.800 sebagai target harga INDF. Saham lain yang direkomendasikan Praska adalah ASII dengan target Rp 7.300. Jika terjadi koreksi pada ASII, level harga Rp 6.500-Rp 6.700 bisa menjadi area buy on weakness.

Selanjutnya, saham IMAS juga dinilai layak dikoleksi. Praska menyarankan target IMAS di area Rp 900 per saham-Rp 950 per saham. Sedangkan untuk saham-saham berbasis komoditas batubara seperti UNTR dan BUMI, Praska menyarankan untuk mempertimbangkan trading buy.

"Karena secara teknikal pergerakan sahamnya sudah relatif tinggi. Sehingga memungkinkan potensi rawan terkoreksi akibat profit taking," jelas Praska.

Jika terjadi koreksi pada saham UNTR, Praska menyarankan level Rp 31.500 bisa dipakai sebagai area buy on weakness, menuju target harga selanjutnya di level Rp 38.000 per saham.

Untuk saham BUMI, strategi buy on weakness bisa dipertimbangkan pada Rp 150 per saham-Rp 160 per saham. Trading buy juga bisa dilakukan dengan target harga menuju ke level Rp 200.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×