Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fluktuasi nilai tukar rupiah di tengah meroketnya harga komoditas bisa menambah beban dan memangkas laba sejumlah emiten. Terlebih kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sedang dalam tren melemah, bahkan sempat menembus Rp 15.000 per dolar AS.
Merujuk kinerja Semester I-2022, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjadi bagian dari emiten yang tersambar efek kurs nilai tukar rupiah
Meski penjualannya masih tumbuh di level 12% dan 16%, namun laba bersih duo emiten Grup Salim itu terpangkas. Laba bersih INDF turun 16% secara tahunan menjadi Rp 2,9 triliun sebagai akibat dari naiknya rugi selisih kurs yang belum terealisasi dari kegiatan pendanaan.
Baca Juga: Akibat Gandum Mahal, Kenaikan Harga Mi Instan Tak Terbendung Tahun Ini
Marjin laba bersih INDF turun dari 7,3% menjadi 5,5%. Dengan alasan yang sama, laba bersih ICBP pada paruh pertama 2022 bahkan turun lebih dalam sekitar 40% menjadi Rp 1,93 triliun.
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana melihat efek kurs ini memang rentan memberi dampak negatif terhadap emiten dengan bahan baku impor. Seperti pada produk gandum, sektor pakan ternak (poultry), serta sektor kesehatan atau farmasi.
Namun, menurut Wawan, kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah yang sekitar 5% sebetulnya tidak begitu signifikan. Dampak terbesar datang dari lonjakan harga bahan baku efek gejolak global yang masih berlangsung hingga saat ini.
Di sisi lain, emiten-emiten yang rawan tersengat efek kurs itu masih tertolong terjaganya daya beli masyarakat. Alhasil, meski laba bersih tergerus, tapi kinerja penjualan emiten yang terdampak beban kurs rata-rata masih bisa membukukan pertumbuhan.
"Artinya, rata-rata emiten memilih mempertahankan pertumbuhan penjualan dibanding margin laba, dengan harapan di periode berikutnya harga bahan baku mulai dapat stabil menurun seiring ketersediaan yang ada," kata Wawan kepada Kontan.co.id, Kamis (1/9).
Sejumlah emiten pun sigap mengantisipasi efek fluktuasi kurs. Salah satu sektor yang paling rawan adalah farmasi, lantaran komponen bahan baku di sektor ini masih bertumpu pada impor dari berbagai negara, dengan porsi yang mencapai sekitar 90%.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius mengungkapkan, pihaknya punya strategi meredam efek kurs. Mulai dari efisiensi produksi internal hingga menyiapkan cadangan devisa di neraca, yang konsisten dijaga senilai US$ 50 juta - US$ 60 juta untuk membiayai impor bahan baku.
Adapun sumber impor bahan baku berasal dari negara China, India, Jepang, Australia, dan berbagai negara di Eropa. Hingga semester I-2022, kineja KLBF pun bisa terjaga berkat laju pertumbuhan penjualan yang positif.
"Walau covid mulai mereda, konsumsi obat, vitamin, nutrisi masih positif. Digital kesehatan juga menambah jumlah konsumen baru. Kami ada product mix dengan margin yang lebih baik serta efisiensi internal di produksi dan distribusi," terang Vidjongtius.
Baca Juga: Penyebab Kinerja Emiten Grup Salim INDF dan ICBP Tertekan di Semester I 2022
Sekretaris Perusahaan PT Phapros Tbk (PEHA) Zahmilia Akbar mengamini, kebutuhan bahan baku impor untuk industri farmasi masih cukup tinggi. Kebanyakan berasal dari negara di Eropa, China, serta India.
Dalam mengantisipasi efek kurs, PEHA melakukan perencanaan dan realisasi pembelian bahan baku untuk kebutuhan beberapa bulan ke depan. Upaya lain yang dilakukan PEHA di antaranya melakukan long term agreement dengan vendor di luar negeri sehingga dampak kurs dapat diantisipasi.
Kemudian PEHA mulai menggunakan mata uang lokal selain dolar AS dalam pembelian bahan yang masih impor agar nilainya lebih stabil. "Hal ini menjadi fokus dari bagian supply chain kami untuk mencegah dampak berlebihan pada bisnis," kata Zahmilia.
Emiten pupuk premium non-subsidi yakni PT Saraswanti Anugerah Makmur Tbk (SAMF) turut melakukan antisipasi. Direktur Utama SAMF Yahya Taufik menyebut, beban selisih kurs dapat diminimalkan dengan melakukan kontrak jangka panjang kepada supplier bahan baku.
Adapun SAMF masih membutuhkan bahan baku yang diimpor dari Uzbekistan, Yordania, Mesir dan Laos. Sedangkan untuk pengadaan dari Rusia dilakukan secara tidak langsung alias melalui trader.
Bersamaan dengan itu, SAMF juga melakukan lindung nilai atau hedging. "Sehingga kami tetap dapat me-maintain margin sesuai yang kami rencanakan." terang Yahya.
Wawan menyoroti peluang kerjasama antara emiten dan lembaga perbankan dalam melakukan skema hedging. Kemudian, strategi swap bilateral dalam mata uang lokal bisa meredam efek beban kurs.
Baca Juga: Laba Indofood (INDF) dan ICBP Kepleset Harga Gandum
"Tapi penggunaannya masih terbatas, dan mata uang lain pun tetap ada fluktuasi," ujar Wawan.
Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza C. Suryanata juga menyoroti, strategi Local Currency Settlement (LCS) bisa mengurangi ketergantungan penggunaan dolar AS sehingga bisa terdiversifikasi. Tapi catatannya, negara yang bisa menerapkan ini masih terbatas.
Liza mencontohkan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan China.
"Yang lebih perlu diteliti apakah bahan baku impor yang diperlukan tersedia di negara-negara tersebut," ujar Liza.
Terlebih, tak semua sektor bisa menyambut LCS. Seperti industri tekstil dan produk tekstil yang cenderung memakai dolar AS ketimbang mata uang lokal untuk kegiatan ekspor dan impor.
Harapan pelaku usaha, imbuh Liza, kebijakan Bank Indonesia yang telah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin bisa menjinakkan nilai tukar rupiah.
"Sehingga bisa meringankan biaya impor bahan baku dan menambah ketenangan bagi para pelaku bisnis," tandas Liza.
Dari sisi pergerakan saham, Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheryl Tanuwijaya mengingatkan, ketika rupiah menembus Rp 15.000 per dolar AS, efeknya sempat terasa pada koreksi saham emiten yang rentan terdampak kurs.
"Namun pelaku pasar saat ini tampak sudah mengantisipasi dan melihat emiten sudah mempersiapkan berbagai strategi untuk meminimalisir efeknya," kata Cheryl.
Menurutnya, sektor defensif seperti konsumen non primer masih bisa dilirik karena tetap punya potensi tumbuh di segala kondisi. Cheryl pun menjagokan saham INDF, ICBP, dan KLBF untuk dikoleksi dengan target penguatan 5%.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan, selama emiten itu punya fundamental yang apik dan prospek bisnis yang jelas, penurunan harga justru bisa jadi momentum akumulasi beli.
Nico turut merekomendasikan INDF dan ICBP dengan target harga masing-masing di Rp 8.600 dan Rp 11.250. Selain itu, emiten poultry juga menarik dilirik, seperti saham PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dengan target harga Rp 6.650.
Sementara itu, Wawan juga menjagokan INDF dan ICBP yang dapat dikoleksi dengan strategi buy on weakness. "Meski net income turun, penjualan masih naik. Daya beli masyarakat pun masih terjaga," pungkas Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News