Reporter: Dina Farisah | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kupon obligasi PT Astra Sedaya Finance melejit. Suku bunga Bank Indonesia (BI) yang belum beringsut turun serta isu pemangkasan stimulus moneter Amerika Serikat (AS) oleh The Fed yang masih bergulir, membuat ketidakpastian pasar finansial masih cukup tinggi. Ini yang membuat perusahaan penerbit obligasi mau tidak mau menawarkan kupon tinggi untuk surat utangnya agar mampu menarik investor.
Dalam prospektusnya, obligasi berkelanjutan tahap II Astra Sedaya Finance senilai Rp 1,8 triliun menawarkan tiga seri. Pada obligasi seri C bertenor tiga tahun dan akan diterbitkan kuartal IV ini menawarkan kupon sebesar 9,75%. Nilai obligasi ini sebesar Rp 350 miliar. Adapun, peringkat obligasi ini AA+ dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dan AAA dari PT Fitch Rating Indonesia. Jika dibandingkan dengan penerbitan obligasi tahap I dengan tenor sama, kupon yang ditawarkan kali ini cukup tinggi. Obligasi terdahulu yang terbit Juni 2013 lalu memiliki kupon 7,75%.
Sementara, obligasi tahap II seri A sebesar Rp 545 miliar memiliki kupon sebesar 8,75%. Tenor obligasi ini selama 370 hari. Lalu, obligasi seri B sebesar Rp 870 miliar dengan kupon sebesar 9,75% memiliki tenor 4 tahun.
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto menjelaskan, dalam menentukan kupon obligasi, perusahaan penerbit akan mengacu pada kupon surat utang negara (SUN) dengan tenor yang sama ditambah risk premium. Selain itu juga mencau tingkat suku bunga acuan (BI rate) pada saat penerbitan obligasi.
Menurut Handy, di akhir Juni 2013 dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi belum terasa, sehingga belum memicu inflasi. Sementara, saat ini kondisi ekonomi domestik sudah berbeda. Salah satunya, tingkat BI rate yang sudah terkerek naik. “Volatilitas pasar lebih tinggi, BI rate juga belum turun sehingga kupon obligasi meningkat,” jelas Handy , kemarin.
Meski harus memberikan kupon lebih besar, namun apabila kebutuhan dana perusahaan penerbit tidak dapat ditunda, maka penerbitan obligasi tetap dilakukan. Ia menduga, pemilihan waktu penerbitan obligasi saat ini lantaran perusahaan penerbit tidak ingin berspekulasi terhadap kondisi pasar finansial di tahun depan.
Handy optimistis, penerbitan obligasi di dalam negeri pada tahun depan lebih semarak meski memasuki tahun politik. Sebab, tahun depan lebih banyak obligasi korporasi yang jatuh tempo. Faktor lain yang memicu ramainya penerbitan obligasi adalah ekspektasi inflasi dan BI rate yang lebih rendah dibanding tahun ini. Handy menghitung, inflasi tahun depan antara 6% sampai 7%. Namun, masih ada kekhawatiran dari neraca perdagangan dalam negeri. Investor juga perlu mencermati fluktuasi US Treasury yang dapat mendorong kenaikan yield SUN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News