Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pasca kenaikan sejak akhir tahun lalu, harga timah terserang koreksi. Meski analis menduga koreksi ini sifatnya hanya teknikal dan sementara.
Mengutip Bloomberg, Kamis (5/1) pukul 14.15 WIB harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tergelincir 0,09% ke level US$ 21.125 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Namun dalam sepekan terakhir harga timah terhitung menguat 0,35%.
Andri Hardianto, Research and Analyst PT Asia Tradepoint Futures mengungkapkan sebenarnya secara fundamental harga timah masih cukup kuat untuk pertahankan kenaikan. Hanya saja level harga yang terhitung cukup tinggi membuat pelaku pasar melakukan aksi profit taking untuk mendulang keuntungan sesaat dan menyebabkan koreksi menimpa harga timah.
Beban juga datang dari dugaan Pemerintah China bahwa tambang timah di sana masih mengalami kelebihan produksi, walau belum ada detil berapa besar kelebihan tersebut. Efeknya China diduga akan mengikis impor timahnya terutama dari Myanmar dan akan berfokus pada penggunaan dalam negerinya.
“Saat ini juga pasar sedang wait and see terhadap sajian data ekonomi AS yang dijadwalkan akan rilis Kamis (5/1) dan Jumat (6/1) malam,” tutur Andri.
Kesempatan ini memicu aksi teknikal tadi. Hanya saja sikap konsolidasi ini juga memberikan celah bagi harga komoditas untuk naik lagi. Terutama dengan naiknya harga minyak mentah ke level US$ 53 per barel bisa turut memberikan angin segar bagi timah.
Ini yang lantas mengarahkan Andri pada dugaan harga timah masih berpotensi naik lagi walau dalam rentang lebih terbatas. Sebab dukungan fundamental datang dari prediksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia bahwa sepanjang tahun 2017 ini produksi timah Indonesia hanya akan sebesar 50.000 ton atau di bawah produksi tahun 2016 yang diproyeksi dalam kisaran 60.000 – 70.000 ton.
Belum lagi pekan lalu dilaporkan stok timah di Shanghai turun 8% menjadi 1.394 ton dibanding pekan sebelumnya. Level ini merupakan titik stok terendah di Shanghai sejak April 2016 lalu. Penurunan ini pun sudah terjadi dalam lima pekan beruntun.
“Sehingga tekanan dari USD itu sifatnya hanya sementara karena perkara pasokan yang mengering masih jadi katalis utama pengangkat harga timah,” ujar Andri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News