Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Koalisi partai pendukung pemerintah semakin kuat. Partai Amanat Nasional (PAN) kini masuk menjadi fraksi pendukung pemerintah. Kehadiran PAN ini tentu mengubah peta dukungan politik secara signifikan.
Para pengamat pasar menilai, Presiden Joko Widodo bakal lebih mudah memuluskan rencananya. Kondisi ini memberi dampak positif secara psikologis untuk pasar modal.
Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, mengatakan, saat ini belum terlihat dampak perubahan peta politik ini ke pasar modal secara langsung. Tapi, peta baru ini bisa memperkuat posisi pemerintah.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, me-nambahkan, saat ini eskalasi politik dalam negeri terlihat sudah lebih tenang. Apalagi partai oposisi terlihat men-dukung beberapa kebijakan pemerintah, khususnya da-lam hal pembangunan in-frastruktur.
Koalisi oposisi juga tampaknya tidak akan mengganggu posisi Presiden Jokowi untuk menunaikan tugasnya hingga masa jabatan presiden berakhir. "Konflik politik sudah tidak terlalu meruncing dan memanas seperti sebelumnya. Presiden terlihat berhasil merangkul koalisi oposisi dan berada di jalur yang tepat untuk me-lanjutkan pembangunan," imbuh Hans.
Kondisi politik yang mulai tenang ini membuat pasar tidak terlalu khawatir lagi. Namun, kini masih menunggu realisasi belanja pemerintah dan pembangunan proyek infrastruktur. Pemerintah juga harus bisa mengendalikan nilai tukar rupiah yang masih melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Investor juga menunggu paket kebijakan stimulus pemerintah agar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berlari lebih positif. Salah satunya mendo-rong investasi asing langsung masuk ke Tanah Air.
Momok ketakpastian
Saat ini pasar juga fokus pada pasar global. Investor tengah menanti keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve alias The Fed soal rencana kenaikan suku bunga acuan Fed rate. The Fed terlihat belum bisa memastikan kapan kenaikan suku bunga acuannya akan dilakukan.
Sebenarnya, pasar sudah bersiap jika The Fed menaikkan suku bunga. Tapi yang terjadi saat ini adalah ketidakpastian. "Dalam ketidakpastian ini, IHSG akan bergerak volatile paling tidak sampai akhir bulan September," ujar Satrio.
Hans mengatakan, data ekonomi AS cukup variatif dan sulit ditebak. Data ekonomi ini penting karena menjadi landasan The Fed untuk menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Di sisi lain, data ekonomi Tiongkok juga tetap mendo-minasi pergerakan pasar dalam sebulan ke depan.
Jika suku bunga The Fed naik kemungkinan pasar akan terpukul sesaat. Bebera-pa analis memprediksi ke-naikan bunga The Fed akan bergeser ke bulan Desember.
Menurut Hans, jika pada September ini The Fed masih menggantungkan keputusan soal suku bunga, IHSG bisa turun lagi ke level 4.300.
Pasalnya, selama ada ketidakpastian, dana asing belum masuk ke Indonesia karena mencari tempat yang lebih aman.
Di sisi lain, perang mata uang dunia masih akan berakibat pada pelemahan mata uang Garuda.
Jika September ini level 4.300 tembus, ada kemung-kinan IHSG kembali ke level paling bawahnya, 4.111.
Hans memprediksi, dengan skenario ketidakpastian suku bunga The Fed, kemungkinan IHSG baru bisa rebound signifikan di tahun depan. "Karena Oktober, pasar masih akan menanti rapat FOMC," ujarnya.
Sementara, likuiditas pasar akan lebih ketat pada De-sember. Dengan pertimbang-an ini, Hans memperkirakan IHSG hanya bisa berakhir di level 4.647 pada akhir 2015.
Hans merekomendasikan sektor andalan infrastruktur, konstruksi, dan perbankan. Saham yang perlu diper-hatikan, antara lain WIKA, WSKT, ADHI, PTPP, SMGR, WTON, BMRI, BBRI dan BBNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News