Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Setelah ditunggu-tunggu, the Federal Reserve akhirnya memastikan jika pembatasan stimulusnya ditunda. Sentimen ini juga pada akhirnya mampu memberikan angin segar bagi pergerakan rupiah.
Penundaan tapering oleh The Fed pada rapat Federal Open Market Comittee (FOMC) memang telah melepaskan tekanan Rupiah dan pasar modal dari faktor eksternal untuk sementara waktu. Bahkan, rupiah mencatatkan penguatan mingguan terbesar di sepanjang tahun ini. Pada periode 16-20 September 2013, rupiah mencatatkan penguatan sebesar 0,5% menjadi 11.351 per dollar AS. Baru hari ini saja rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,6%.
"Rupiah baru akan bisa memulai tren bullish dan menguat apabila inflasi sudah mereda dan disertai dengan perbaikan pada neraca current account," terang Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka kepada KONTAN, (20/9).
Demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya Bank Indonesia (BI) kali ini jangan kecolongan lagi oleh uang panas yang kembali berputar di pasar modal. BI harus tetap konsisten melanjukan pengetatan pada kebijakan moneter dengan terus mengawasi inflasi dan menyesuaikan suku bunga apabila diperlukan.
"Buyback oleh perusahaan BUMN dan lelang obligasi dan swap mesti tetap dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan harga dan sentimen," tandas Lukman.
Rully Arya Winubroto, Pengamat Pasar Uang dari Bank Mandiri memiliki pandangan senada. Khususnya untuk jangka pendek, pergerakan rupiah justru akan dipengaruhi oleh sentimen dari dalam negeri. Adanya sedikit koreksi pada rupiah hari ini juga dipicu oleh sentimen kondisi ekonomi yang masih mengalami perlambatan.
"Kalau jangka pendek masih mengandalkan kebijakan-kebijakan BI. BI pun sudah tepat dengan mengeluarkan instrumen-instrumen baru seperti Time Deposit Valas. Jadi yang perlu diperhatikan memang soal inflasi dan menyeimbangkan neraca perdagangan," Jelas Rully.
Nah, jika sudah berbicara inflasi artinya berbicara jangka panjang. Soalnya, salah satu unsur dari fundamental ekonomi suatu negara, dalam hal ini Indonesia, adalah inflasi. Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan belakangan ini juga sebenarnya kebijakan yang menyentuh sisi fundamental ekonomi.
Jadi, efek dari kebijakan ini belum bisa dirasakan dalam waktu dekat. Rully memprediksi, awal tahun depan efek kebijakannya baru bisa dirasakan.
Dengan kata lain, tampaknya sulit bagi rupiah untuk kembali ke level lamanya, Rp9000 -an. "Kami proyeksikan rupiah hanya akan menguat ke Rp 10.800 di akhir tahun. Sulit untuk bergerak di bawah 10.000 karena tadi masih banyak yang perlu diseimbangkan," pungkas Rully.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News