Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) tertekan di sepanjang semester I tahun 2021. Emiten produsen bahan kimia ini mencatatkan kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$ 10,72 juta, angka ini meningkat dari kerugian di periode semester I/2020 sebesar US$ 5,77 juta.
Walaupun begitu, topline ESSA meningkat, dengan membukukan pendapatan senilai US$ 138,93 juta, atau naik 45,04% dari pendapatan di periode yang sama di tahun lalu, yang hanya mencatatkan US$ 95,78 juta.
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Jacquelin Hamdani menilai, ruginya ESSA di semester I/2021 karena tingkat produksi yang lebih rendah. “Pengurangan ini disebabkan oleh machinery breakdown di bulan Mei 2021, menyebabkan stop produksi sekitar 21 hari,” jelasnya kepada Kontan, Kamis (9/9).
Selain itu, menurut Jacquelin dan Edward dalam risetnya, mereka melihat, secara global banyak pabrik amoniak yang menunda penyelesaian pada tahun 2020 karena Covid-19 , dan sebelum kembali ke kapasitas produksi secara normal.
Baca Juga: Surya Esa Perkasa (ESSA) catatkan kerugian US$ 10,72 juta di semester I 2021
Sehingga hal ini menurut mereka menyebabkan harga amonia melonjak menjadi US$ 630 per ton atau naik 174% secara yoy, sedangkan di kuartal II/2021 harga rata-rata amonia berada di angka US$ 488 per ton.
Jacquelin dan Edward yakin ke depannya harga amonia yang kuat akan berlanjut hingga semester II/2021, karena Amerika Serikat (AS) dan Asia Timur (China dan India) akan memasuki musim tanam di bulan September hingga Desember.
Selain itu, reli harga komoditas yang seharusnya mendorong aplikasi pupuk dapat mengakibatkan permintaan amonia yang lebih tinggi. Mereka perkirakan asumsi harga amonia di tahun 2021 akan berada di angka US$ 500 per ton, dan di tahun 2022 diperkirakan akan berada di angka US$ 550 per ton.
Untuk bisnis Liquefied petroleum gas (LPG), kebutuhannya selalu dipenuhi melalui impor, bahkan sekitar 77% pada tahun lalu. Akibat dari defisitnya perdagangan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk secara signifikan mengurangi dan menghentikan impor LPG pada tahun 2030.
Baca Juga: Ada 12 penghuni baru indeks Kompas100, begini rekomendasi sahamnya
Sebagai salah satu operator LPG terbesar, ESSA dinilai mempunyai posisi yang ideal untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan kebijakan tersebut, karena penjualan LPG ESSA seluruhnya dipasarkan ke Pertamina dengan harga jual berdasarkan harga kontrak Arab Saudi (Aramco). Dalam pandangan mereka, ke depannya, bisnis LPG harus terus memberikan pendapatan dan bantalan arus kas untuk bisnis amonia yang volatil.
Projek Blue Ammonia sebagai bahan bakar bebas karbon akan dijalankan oleh ESSA melalui anak perusahaannya, Panca Amara Utama (PAU) sudah menandatangani MoU Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) pada Maret 2021 lalu.