Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Reksadana saham masih belum jadi pilihan menarik pada tahun 2025. Kelas aset saham masih dibayangi kekhawatiran arah suku bunga tinggi.
Direktur Panin Asset Management (Panin AM) Rudiyanto mengatakan, prospek reksadana saham di tahun ini akan sangat bergantung kebijakan suku bunga Amerika Serikat (AS).
Kondisi masih sulit diprediksi karena arah suku bunga bank sentral AS (The Fed) bisa berubah tiap bulan, sejalan dengan data inflasi teranyar mereka.
Berkaca dari tahun lalu, tren dan ekspektasi suku bunga berubah dengan cepat. Pada periode Juni – September terpantau kinerja pasar masih bagus, namun berubah drastis di Oktober – Desember. Maka dari itu, arah suku bunga berubah haluan sangat memungkinkan.
Baca Juga: Manajer Investasi Menata Kembali Portofolio Reksadana Jelang Pemangkasan Suku Bunga
‘’Ekspektasi suku bunga berubah bulanan sesuai data inflasi. Apa yang terjadi saat ini sangat mungkin berubah di masa mendatang,’’ imbuh Rudiyanto kepada Kontan.co.id, Jumat (10/1).
Rudiyanto menjelaskan bahwa tadinya harapan pemangkasan suku bunga masih bertahan hingga September 2024, dengan ekspektasi penurunan mencapai 1% di 2025. Namun angka inflasi AS kembali naik disertai pemberitaan kebijakan tarif Trump telah menyebabkan kekhawatiran suku bunga semakin tinggi.
Arah suku bunga berubah pun melatarbelakangi koreksi indeks reksadana saham mencapai -8,87% di tahun 2024, berdasarkan data Infovesta.
Kelas aset saham mencatatkan kinerja terburuk daripada reksadana campuran -1,05%, sedangkan reksadana pendapatan tetap dan reksadana pasar uang catatkan pertumbuhan return masing-masing 3,30% dan 4,63%.
Menurut Rudiyanto, buruknya performa reksadana saham di sepanjang tahun lalu bisa dikaitkan dengan anjloknya pasar saham terutama pada indeks LQ45. Hal itu mengingat reksadana saham secara umum banyak memuat saham-saham indeks LQ45 dengan kinerja solid seperti AMMN, BBCA, BMRI, TLKM.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Menguat Jika The Fed Pangkas Suku Bunga Lebih Besar dari BI Rate
Performa indeks LQ45 terpantau minus -14.83% selama tahun 2024, akibat derasnya dana asing keluar (net sell) terutama di kuartal terakhir. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat koreksi sekitar -2,65% di tahun 2024.
‘’Turunnya LQ-45 karena net sell asing yang disebabkan atas perubahan ekspektasi penurunan suku bunga. Kemungkinan komposisi reksadana secara umum lebih banyak LQ45,’’ jelas Rudiyanto.
Rudiyanto melihat, secara umum, saham pada semua sektor valuasinya sudah sangat murah. Jika tren berbalik dovish, maka diharapkan adanya peningkatan kinerja saham yang pada akhirnya berefek pada imbal hasil reksadana saham.
Apabila laba bersih meningkat, maka penurunan harga saham akan membuat valuasi semakin murah. Peningkatan laba bersih juga memberikan keberanian bagi investor untuk berani masuk ketika harganya turun.
‘’Tapi ketika pertumbuhan laba stagnan atau bahkan turun, maka ketika harga saham turun, investor cenderung wait and see,’’ sebut Rudiyanto.
Investor diharapkan lebih cermat dalam memilih reksadana saham. Pemilihan reksadana saham bisa melihat berdasarkan kinerja solid emiten ataupun saham-saham potensial yang diprediksi harganya naik signifikan.
Baca Juga: Kepala BKF Prediksi The Fed Bakal Pangkas Suku Bunga Lebih Banyak
Rudiyanto menuturkan, pengelolaan reksadana umumnya sangat dinamis. Isi portofolio bisa berubah dari waktu ke waktu mengikuti kondisi pasar kecuali reksadana indeks yang harus mengikuti indeks tertentu.