Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pasar modal domestik diyakini masih bergerak dalam tren bullish hingga akhir tahun nanti. Seiring hal tersebut, harga saham emiten grup konglomerasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) berpotensi terus bertumbuh.
Sejak awal tahun hingga kemarin atau year to date (ytd), saham grup konglomerasi memang bergerak positif. Rata-rata harga saham delapan grup konglomerasi menanjak. Sementara dua grup, yakni Grup Lippo dan Grup MNC, masih menyusut.
Rata-rata harga saham emiten Grup Barito tercatat naik paling tinggi, yakni mencapai 65,29% sejak awal tahun atau year to date (ytd). Kenaikan tersebut dihitung berdasarkan rata-rata laju harga saham dua emiten Grup Barito, yakni PT Barito Pacific Tbk yang naik sekitar 100% dan saham PT Chandra Asri Tbk naik sekitar 30% (ytd), seirama dengan peningkatan kinerja.
Saham Grup Sinarmas rata-rata naik 29,72% berdasarkan kenaikan harga saham 10 emiten grup ini. Sementara harga rata-rata 13 emiten Grup Lippo turun 14,84% sejak awal tahun.
Pertumbuhan saham emiten grup konglomerasi turut mendorong pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski kemarin turun 0,69% menjadi 5.825,05, IHSG masih naik 9,97% dihitung sejak awal tahun.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyebut, kenaikan maupun penurunan harga saham emiten grup konglomerasi tak terlepas dari faktor sentimen sektoral. Misal, kinerja sektor keuangan membaik sehingga mendorong harga saham grup konglomerasi yang memiliki emiten di sektor perbankan.
Contoh Grup Panin. Mayoritas harga saham anggotanya yakni PNBN, PNIN, PNLF, PNBS dan AMAG, naik hingga double digit. Hanya PANS yang membukukan penurunah harga saham di antara emiten Grup Panin.
Sementara Grup Djarum yang mengandalkan BBCA juga menunjukkan tren positif. "Kinerja sektor keuangan positif ditunjang efek investment grade, ekspansi kredit yang double digit dan membaiknya non performing loan (NPL)," ungkap Hans kepada KONTAN, Rabu (4/7).
Sementara sektor properti masih tiarap. Hal inilah yang menyebabkan pergerakan harga saham emiten properti jadi terseok-seok. Menurut Hans, produk properti saat ini mahal (overvalued), sementara daya beli masyarakat masih rendah. "Daya beli masyarakat tidak cukup, data menunjukkan lebih dari 70% pembelian properti melalui kredit atau mencicil," ujar dia.
Dia menilai, kencenderungan investor masuk ke suatu saham dengan pertimbangan konglomerasi sudah rendah. Pada periode 1998 hingga 2000, tren investor membeli saham dengan melihat latar belakang konglomerasi masih cukup besar. "Saat ini orang tidak melihat grup, tapi sentimen sektoral yang paling mempengaruhi," terang Hans.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada mengemukakan hal senada. Faktor fundamental dari emiten memegang pengaruh besar. Selain itu, pemberitaan positif maupun negatif atas emiten tersebut juga mempengaruhi. "Ini jadi pertimbangan pasar," ujar Reza.
Dia menambahkan, saham emiten Grup Salim saat ini tumbuh ditunjang oleh produk yang telah menguasai pasar. Selain dengan pertimbangan sektor konsumer saat ini masih positif di pasar. Kenaikan harga saham DNET misalnya, mencapai 123,64% (ytd). "Saham ICBP dan INDF masih menjadi motor penggerak grup ini," kata Reza.
Sementara saham emiten Grup Bakrie masih ditopang oleh pertumbuhan sang ikon, yakni BUMI, yang akan menggelar rights issue.
Adapun prospek saham Grup MNC dinilai masih positif. Namun pemberitaan tokoh sentral Grup MNC, Hary Tanoesoedibjo, yang terjerat perkara hukum, menjadi sentimen negatif. "Berita negatif tersebut menutupi berita positif lainnya," ujar Reza.
Tapi Hans menyatakan, perkara hukum yang menimpa Hary Tanoesudibjo saat ini tidak berpengaruh signifikan. Selain bukan kasus besar, masih banyak tokoh MNC saat ini yang memegang peran. "Meskipun secara umum industri media saat ini sedang mencari modelnya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News