Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) dinilai masih berat di tengah memanasnya geopolitik di Timur Tengah.
PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) melihat, harga CPO secara umum dipengaruhi permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh beberapa faktor. Termasuk, pergerakan harga minyak nabati lain dan pergerakan harga minyak bumi.
Head of Investor Relation Sampoerna Agro, Stefanus Darmagiri mengatakan, ini karena CPO dapat digunakan sebagai energi alternatif.
“Peningkatan tensi geopolitik di Timur Tengah yang membuat harga minyak bumi naik dampaknya bisa positif ke harga CPO, sehingga menaikkan penjualan SGRO,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (19/4).
Baca Juga: Ada Peningkatan Permintaan Saat Lebaran, Begini Rekomendasi Emiten CPO
PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) melihat, Perseroan melihat kondisi geopolitik di Timur Tengah akan meningkatkan risiko suplai pada sektor energi. Hal ini secara langsung akan berdampak pada kenaikan harga sektor energi dan juga pada komoditas lain, seperti vegetable oil, khususnya CPO yang saat ini juga digunakan sebagai energi baru terbarukan (EBT).
Sekretaris Perusahaan TAPG Joni Tjeng mengatakan, di sisi lain konflik tersebut juga meningkatkan risiko dari kenaikan biaya produksi, khususnya peningkatan harga pupuk yang seiring dengan peningkatan harga gas global.
“Perseroan berharap kondisi geopolitik di Timur Tengah ini dapat dengan segera terselesaikan untuk menciptakan kondisi yang lebih stabil,” ungkapnya.
Analis Phillip Sekuritas Marvin Lievincent melihat, belum ada korelasi yang cukup kuat antara memanasnya geopolitik di Timur Tengah dengan harga CPO. Bukannya menguat, Marvin justru melihat harga CPO bisa saja terguncang, mengingat suasana perang bisa menurunkan daya beli masyarakat.
Baca Juga: Begini Kinerja Emiten CPO Selama Periode Ramadan dan Lebaran 2024
Masyarakat pun cenderung lebih memilih menyimpan atau mengamankan aset mereka dalam instrumen safe haven, seperti emas, surat berharga negara (SBN), hingga mata uang asing.
“Hingga saat ini, CPO tidak pernah menjadi alternatif bahan bakar. Namun, CPO jika dicampur dengan bahan bakar fosil memang bisa menghasilkan solar B30,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (19/4).
Meskipun begitu, Marvin meyakini kinerja emiten CPO masih bisa menguat di tahun ini, meskipun ada ketegangan di Timur Tengah. Alasanya, yang menggerakan kinerja emiten CPO salah satunya merupakan konsumsi pangan dan kebutuhan industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
“Program makan siang gratis juga bisa memberikan dampak positif terhadap kinerja emiten CPO,” ungkapnya.
Marvin pun merekomendasikan beli untuk saham LSIP dengan target harga Rp 1.155 per saham.
Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Melemah Usai Serangan Iran ke Israel dan Data Ekonomi AS
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan menilai, memanasnya situasi geopolitik timur tengah, harga minyak dunia juga akan meningkat. Hal ini pun akan mendorong harga-harga komoditas lain ikut naik.
Namun, komoditas yang terkait dengan Israel dan Iran biasanya adalah minyak bumi. Ini berbeda dengan Ukraina dan Rusia yang merupakan produsen komoditas lain, seperti nikel, batubara, minyak bunga matahari. Sehingga, untuk harga komoditas lain yang mengikuti kali ini berbeda dengan situasi perang Ukraina-Rusia.
“Harga CPO juga lebih dahulu dipengaruhi oleh harga komoditas substitusi lainnya, seperti minyak bunga matahari atau rapeseed oil,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (19/4).
Darma melihat, harga CPO mengalami kenaikan di awal tahun 2024. Hal ini juga diiringi dengan pertumbuhan produksi CPO yang cukup baik di bulan Januari.
Baca Juga: Meski Ada Sejumlah Tantangan, Harga CPO Diramal Akan Tetap Positif hingga Akhir Tahun
Namun, harga CPO kembali turun di bulan Februari dan Maret, mengingat ada banyak tanggal merah. Sehingga, berpengaruh terhadap output produksi.
Melansir Trading Economics, Jumat (19/4), harga CPO secara bulanan sudah terkoreksi 9,26% dan secara mingguan terkoreksi 8,20%.
“Walaupun produsen CPO yang berorientasi ekspor dapat diuntungkan, tetapi yang orientasi penjualannya lebih ke domestik, kinerjanya masih cenderung akan stagnan,” ungkapnya.
Darma pun merekomendasikan trading buy untuk AALI dan LSIP dengan target harga masing-masing Rp 7.300 per saham dan Rp 950 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News