Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rencana China untuk menahan pengembangan proyek pertambangan batubara baru dan cukupnya pasokan dalam negeri India disinyalir adalah penyebab turunnya permintaan batubara untuk pembangkit listrik tahun lalu. Imbasnya, pergerakan harga batubara terus menurun sejak awal tahun 2017 kemarin.
Hal ini diungkapkan oleh beberapa grup lingkungan seperti Greenpeace, The Sierra Club dan CoalSwarm. Menurut mereka, seperti dikutip dari Bloomberg, rencana pre konstruksi turun 48% sedangkan mulainya aktivitas konstruksi baru turun 62% sepanjang tahun 2016 dibanding tahun 2015 lalu.
Tentunya ini positif dampaknya bagi lingkungan sehingga membuat pasokan global kering batubara. Efeknya banyak pembangkit listrik yang mengurangi penggunaan batubara akibat ketiadaan pasokan tersebut.
Sementara India sendiri menurut Menteri Energinya mencatatkan bahwa pasokan di India masih cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga tahun 2019 mendatang. Ditambah lagi, National Energy Plan, mengatakan tidak akan ada pengembangan pembangkit listrik bertenaga batubara lagi setidaknya sampai 2027 mendatang.
Efeknya, di China dan India sebesar 68 gigawatts konstruksi batubara di lebih dari 100 titik terhenti. Sementara di AS dan Eropa sendiri sebanyak 64 gigawatts kapasitas pembangkit listrik batubara sudah berhenti beroperasi dalam dua tahun terakhir.
Keringnya permintaan ini memang menyudutkan pergerakan harga batubara. Mengutip Bloomberg, Selasa (21/3) harga batubara kontrak pengiriman April 2017 di ICE Futures Exchange menurun 1,78% ke level US$ 80,00 per metrik ton dibanding hari sebelumnya.
Walau memang negara seperti Turki, Indonesia, Vietnam dan Jepang gagal menerapkan upaya untuk memaksimalkan penggunaan energi terbarukan. Sehingga masih menjadi penopang pergerakan harga batubara akibat tingginya permintaan dari negara-negara tersebut. Membuat penurunan harga batubara terhitung terbatas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News