Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Menurut Desmon, pelaku pasar juga memanfaatkan pasokan obligasi pemerintah yang besar di awal tahun. Strategi front loading pemerintah mengerek likuiditas beberapa seri SBN.
Sebagian manajer investasi biasanya memang lebih menggemari obligasi negara yang likuid agar mudah membeli atau menjualnya setiap saat. Ke depan, ada peluang penambahan porsi SBN di reksadana.
Pendorongnya, masih memiliki ruang penyusutan BI rate sebesar 25 bps. Hal ini disokong oleh rendahnya tren inflasi Indonesia setelah pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Niscaya, target inflasi Tanah Air sepanjang tahun 2016 yang dipatok 3%–5% bakal terwujud.
“Tapi penambahannya SBN di reksadana tidak akan signifikan. Sebab, produk reksadana saham masih mendominasi pasar,” tuturnya. Maklum, biasanya imbal hasil (return) reksadana saham lebih menggiurkan ketimbang jenis produk reksadana lainnya.
Kinerja reksadana saham juga diperkirakan bakal menanjak seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah membidik pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, lebih tinggi ketimbang realisasi tahun lalu yang tercatat 4,79%.
Made menerawang, porsi SBN pada reksadana bakal menanjak di waktu mendatang. Amunisi bersumber dari kebijakan teranyar Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam POJK No.1/POJK.05/2016, OJK menetapkan institusi seperti dana pensiun, asuransi, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memarkirkan dana minimal 10%–30% pada instrumen SBN sebelum akhir tahun 2016.
“Untuk dana pensiun yang kerepotan masuk ke SBN karena dana minim, bisa difasilitasi dengan membeli reksadana yang aset dasarnya obligasi negara,” paparnya.
Made memproyeksikan, sepanjang tahun 2016, akumulasi SBN pada reksadana akan terangkat lebih dari 30%. Berarti, ia memprediksi kepemilikan obligasi negara di reksadana bakal mencapai sekitar Rp 80 triliun sampai akhir tahun 2016.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News