Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) sebesar 25 bps menjadi 6,00% pada pertemuan Oktober 2023 membuat pasar obligasi dalam negeri kembali menarik.
Hal ini didukung oleh terkendalinya inflasi Indonesia yang sebesar 2,56% secara tahunan atau year on year (yoy) pada Oktober 2023.
Sejalan dengan peningkatan suku bunga acuan BI, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mencatatkan kenaikan dari 6,2% pada bulan Juli menjadi di atas 7% di bulan Oktober 2023.
"Kenaikan yield tersebut cenderung menghasilkan real yield yang cukup tinggi, yakni mencapai 4,5%," kata Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management Alvaro Ihsan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (1/11).
Baca Juga: Dua Reksadana Offshore BNP Paribas AM Catat Kinerja Dobel Digit
Alvaro menjelaskan, real yield menunjukkan imbal hasil dari obligasi yang investor dapatkan setelah memperhitungkan inflasi. Menurutnya, dengan inflasi Indonesia yang terkendali, berinvestasi pada obligasi sudah semakin menarik.
Fixed Income Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila menambahkan, BI menaikkan suku bunga acuannya untuk menstabilkan pasar. Pasalnya, penguatan dolar AS yang signifikan terjadi pada Oktober 2023 meningkatkan yield obligasi pemerintah AS alias US Treasury tenor 10 tahun ke kisaran 4,8%.
Kenaikan yield UST tenor 10 tahun tersebut mempersempit spread dengan yield obligasi pemerintah Indonesia. Pelaku pasar lebih tertarik berinvestasi di AS sehingga menyebabkan arus dana keluar alias capital outflow yang signifikan sejak awal Oktober 2023.
Oleh sebab itu, Karinska memprediksi, BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps di sisa tahun ini demi membatasi tekanan pada rupiah dan membendung capital outflow. "Dampak kenaikan suku bunga ini akan terasa di semester 1 2024," kata Karinska.
Baca Juga: Yield US Treasury Naik, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi Domestik?
Meskipun begitu, Karinska melihat, obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun masih cukup menarik dibanding negara lain. Secara year to date (ytd), 10Y INDOGB mencatatkan return 4%, cukup tinggi dibanding obligasi pemerintah China, Malaysia, dan Thailand.
Return positif tersebut didukung oleh kondisi ekonomi Indonesia yang cenderung stabil, inflasi yang terkelola, pengetatan moneter yang terukur, dan kondisi fiskal yang solid.
Karinska melihat, permintaan obligasi pemerintah Indonesia masih cukup tinggi dari investor domestik. Sementara investor asing mencatat penjualan bersih pada tenor pendek, dan beralih ke tenor yang lebih panjang.
Suplai Surat Berharga Negara (SBN) yang berkurang pada kuartal IV-2023 juga akan menjadi sentimen positif bagi obligasi dalam negeri. Hal ini berpotensi mengerek harga obligasi dan menurunkan yield obligasi Indonesia.
"Mirae Asset Sekuirtas mempertahankan rating untuk obligasi jangka pendek karena nilainya yang diskon, tetapi investor harus terus berhati-hati karena yield US Treasury bisa kembali ke atas 5%," ucap Karinska.
Baca Juga: Bank BNI Cetak Pertumbuhan Laba dan Kredit, Sambil Kedepankan Kehati-hatian
Sementara menurut Alvaro, untuk menghindari volatilitas, investor bisa melirik obligasi korporasi yang cenderung memiliki volatilitas lebih rendah dibandingkan obligasi negara. Investor dengan horizon investasi yang pendek juga bisa berinvestasi pada tenor yang lebih pendek di mana telah menawarkan yield yang menarik dengan dampak penurunan harga yang lebih minim (duration risk).
Selain itu, investor juga bisa memperoleh imbal hasil yang menarik dengan berinvestasi pada sukuk tabungan. Imbal hasil yang diterima mengacu pada suku bunga acuan (BI 7 days RR) dengan tambahan spread (floating with floor).
Investor sukuk tabungan juga tidak menghadapi kondisi volatilitas harga dimana mekanismenya adalah tidak diperdagangkan (non-tradable) dengan early redemption.
"Sucorinvest Asset Management menargetkan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun berada di kisaran 6,8%-7% pada akhir tahun 2023," kata Alvaro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News