Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Membuka tahun 2017, harga minyak langsung melesat ke level tertinggi sejak September 2015. Dampak pembatasan produksi minyak oleh Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan beberapa negara penghasil minyak mulai terasa. Selasa (3/1) pukul 17.28 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman Februari 2017 di New York Mercantile Exchange menguat 2,33% ke level US$ 54,97 per barel.
Deddy Yusuf Siregar, analis Asia Tradepoint Futures, mengatakan, awal tahun ini minyak mentah didorong oleh berbagai sentimen positif. Pertama, kesepakatan pembatasan produksi OPEC sebanyak 1,2 juta barel per hari, atau dengan target produksi 32,5-33 juta barel per hari, turun dari sebelumnya 33,64 juta barel per hari.
Pemangkasan produksi salah satunya dilakukan oleh Kuwait. Mengutip surat kabar Al-Anba, Kuwait Oil Co memangkas produksi 130.000 barel per hari sehingga produksinya hanya menjadi 2,75 juta barel per hari.
Kedua, "Sentimen positif juga datang dari cuitan Donald Trump di Twitter yang memperingatkan Korea Utara agar tidak lagi meluncurkan uji coba rudal balistik," kata Deddy.
Memburuknya kondisi geopolitik bisa mempengaruhi distribusi dan harga minyak. Ketiga, indeks belanja manajer sektor manufaktur Caixin China di Desember meningkat ke level 51,9 dari bulan November di level 50,9.
Dengan perbaikan ini, diharapkan impor minyak China akan meningkat. Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi juga melihat, sentimen positif masih akan berlanjut hingga pertengahan tahun.
Beberapa negara penghasil minyak baru merencanakan pembatasan produksi mulai pada akhir kuartal I. Misalnya Oman baru akan mengurangi produksi pada bulan Maret dan Rusia pertengahan tahun ini. Dengan sentimen positif tersebut, Nanang memprediksi harga minyak bisa menguat hingga US$ 80 per barel tahun ini.
Tantangan harga Tetapi sejumlah sentimen negatif juga bisa menahan laju harga minyak. Menurut Nanang, penguatan dollar AS perlu diwaspadai. Apalagi pada 20 Januari Donald Trump akan resmi dilantik jadi presiden AS.
Kebijakan Trump yang progresif bisa memperkuat dollar AS. "Padahal sentimen positif terhadap dollar akan menghambat kenaikan harga minyak," terang dia. Apalagi, produksi minyak di AS dan Kanada meningkat.
Awal tahun ini, Negeri Paman Sam telah memiliki 525 rig minyak aktif. Sedangkan, Kanada diprediksi akan mengerek produksi minyak dari 10.000 barel menjadi 31.000 barel tahun ini.
Secara teknikal, harga minyak bergulir di atas garis moving average (MA) 50, MA 100 dan MA 200. Kemudian relative strength index (RSI) telah berada di area positif, yakni level 57. MACD juga bertengger di area positif. Namun stochastic menunjukkan penurunan ke level 38.
Hari ini (4/1) Deddy memperkirakan, harga minyak akan bergerak di rentang US$ 53,60–US$ 56,07 per barel. Sepekan ke depan harga akan bergerak antara US$ 53,60–US$ 56,7 per barel.
Sementara menurut hitungan Nanang, harga minyak hari ini bergerak di kisaran US$ 53- US$ 54,70 dan bergerak antara US$ 50-US$ 56,25 per barel sepekan ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News