Reporter: Diba Amalia Haritz | Editor: Adi Wikanto
Jakarta Mengutip Bloomberg, hasil Riset Harbor Intelligence menduga China akan menambah produksi 39 juta ton aluminium hingga 2020. Jika hal tersebut terjadi, harga aluminium berpotensi tergerus lebih dari 11% dalam empat tahun mendatang. Sedangkan harga aluminium sudah turun lebih dari 40% sejak level tertinggi di tahun 2011.
Bloomberg mencatat, Selasa (9/8) harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) melemah tipis 0,06% ke level US$ 1.642 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya, dan naik 1,04% dibandingkan sepekan terakhir.
Analis PT Asia Tradepoint Futures, Andri Hardianto mengamini sentimen negatif dari China mengenai peningkatan jumlah cadangan. “Prediksi tersebut memberikan sentimen negatif bagi aluminium,” kata Andri (10/8).
Selain itu, Andri mengungkapkan pertemuan The Fed yang dilaksanakan pada September mendatang ikut mempengaruhi komoditas logam, termasuk aluminium. Pelaku pasar berspekulasi bahwa pada pertemuan tersebut The Fed akan diprediksi menaikkan suku bunga. Sebab data tenaga kerja Amerika Serikat yang dirilis Jumat (5/8) menunjukkan hasil positif yakni 255.000, melambung jauh 41,67% di atas prediksi pasar.
Kemudian tambah Andri, sentimen negatif lain yang mempengaruhi harga aluminium adalah transaksi komoditas aluminium. Transaksi aluminium yang sedikit berkurang lantaran saat ini tengah memasuki musim panas. Andri menerangkan, “Musim panas merupakan holiday season bagi Eropa dan Amerika Serikat, sehingga transaksi berbagai komoditas, salah satunya alumunium ini berkurang.”
Menurut Andri, harga aluminium yang hanya sedikit terjatuh ini disebabkan adanya katalis positif dari China. Angka Consumer Price Index (CPI) dan Producer Price Index (PPI) China menunjukkan hasil yang baik. CPI di China berada di atas prediksi pasar 0,1% menjadi 1,8%. Sedangkan angka PPI berada di minus 1,7%, padahal pasar memprediksi PPI China akan berada di minus 2,0%.
“Jika kedua data tersebut menunjukkan hasil yang signifikan, maka akan mendukung adanya kenaikan inflasi. Naiknya inflasi maka berimbas pada penguatan mata uang,” terang Andri.
Hal tersebut memberikan gambaran adanya pertumbuhan aktivitas ekonomi di China, termasuk aktivitas industri. “Dengan adanya kenaikan aktivita industri, maka korelasinya adalah adanya permintaan bahan baku bagi industri, seperti aluminium,” ujar Andri.
Bersamaan dengan hal tersebut, menurut Bloomberg, keuntungan pabrik baja dan smelter aluminium juga membaik pada enam bulan awal 2016 dibandingkan tahun lalu. Jatuhnya harga rata-rata yang terjadi pada semester I-2015 kemarin membuat berbagai perusahaan komoditas barang tambang metal tersebut untuk memangkas biaya produksi.
Selain itu, di China sendiri upaya untuk memangkas harga material mentah termasuk aluminium mendatangkan keuntungan bagi produser aluminium. Sebagai catatan, pada awal tahun harga rata-rata aluminium berkurang 11% di Shanghai dan 14% di London, hal tersebut menggambarkan peningkatan kapasitas domestik dan rendahnya permintaan di China sebagai konsumen terbesar bahan material metal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News