Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih berkutat pada kisaran Rp 14.000 per dollar AS. Padahal, segala jurus dan kebijakan telah diterapkan Tanah Air. Bahkan, bank sentral tidak segan-segan menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali dalam sebulan di Mei lalu.
Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, risiko eksternal Indonesia yang memburuk seperti defisit transaksi berjalan yang melebar. Ketika investor asing melihat potensi pelebaran defisit masih akan berlangsung, maka tekanan terhadap rupiah akan terus ada.
Kedua, valuasi aset kini menjadi lebih mahal akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7DRR). Rumusnya, ketika valuasi murah di pasar keuangan, maka investor akan melakukan aksi beli (net buy), sebaliknya ketika valuasi mahal mereka akan lakukan net sell.
"Kalau valuasi kemahalan orang akan jual obligasi atau sahamnya. Saat taking profit terjadi, lagi-lagi rupiah akan tertekan," kata Adrian kepada Kontan.co.id, Rabu (20/6).
Ketiga, faktor penguatan dollar AS karena The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Ketika investor memindahkan asetnya ke US Treasury, maka permintaan dollar pun akan terus meningkat yang pada akhirnya rupiah kembali akan tertekan.
"Secara domestik enggak ada yang bisa mengerem perpindahan aset tersebut. Sehingga solusinya hanya menjaga fundamental, namun itu pun tetap belum cukup," ungkapnya.
Di sisi lain, respons cepat Bank Indonesia dengan menaikkan BI 7DRR turut memberikan tekanan pada rupiah. Ditambah lagi, wacana bank sentral untuk kembali menaikkan suku bunga acuan akhir Juni ini. Langkah tersebut, bisa membuat asing berpikir bahwa ada masalah yang terjadi di Tanah Air.
Hal itu, menurut Adrian akan memicu kecurigaan yang sangat salah di global. Wacana tersebut juga akan membuat valuasi aset semakin mahal dan kembali menekan nilai tukar mata uang berlambang garuda tersebut.
"Tujuan utama BI menaikkan suku bunga adalah untuk menghemat devisa, namun faktanya devisa masih terus tergerus," jelasnya.
Adrian menilai, wacana menaikkan suku bunga saat ini dianggap bukan solusi untuk mengamankan devisa, sekaligus obat penawar pelemahan nilai tukar. "Mungkin kalau BI 7DRR bulan ini ditahan, tekanan rupiah bisa berkurang," tuturnya.
Dengan kata lain, BI perlu melepas rupiah bergerak bebas namun tetap terkendali. Sembari, memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan (CAD), di mana aktivitas impor sudah melampaui ekspor.
"Untuk mengurangi impor, salah satu caranya membiarkan rupiah mahal dengan terkendali. Dengan begitu, harapannya defisit transaksi berjalan bisa berkurang," tuturnya.
Selain itu, otoritas juga perlu membuat inovasi baru dengan meluncurkan produk hybrid. Meskipun membutuhkan waktu, namun langkah tersebut dianggap efektif untuk mempercepat masuknya dana asing ke Tanah Air.
"Kalau mau dollar AS kembali masuk harus ada produk hybrid, entah itu reksadana, obligasi atau lainnya. Tapi itu semua butuh waktu, enggak ada yang instan," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News